Apakah kalian menyadari bahwa setiap anak memiliki perilaku dan sifat yang berbeda? Tentu, jawabannya pasti iya. Kalian mungkin menyadari bahwa ada seorang anak yang memiliki sifat percaya diri, mudah bergaul, dan cenderung berperilaku baik, namun seorang anak laiinya memiliki sifat yang pemalu, penakut, dan bahkan cenderung nakal.

“Mengapa ada perbedaan-perbedaan ini?”. Inilah pertanyaan yang ditanyakan oleh Diana Baumrind, seorang ilmuwan psikologi perkembangan dari Amerika Serikat, ketika ia menyadari bahwa anak pra-sekolah kala itu ternyata memiliki perilaku yang berbeda-beda. Selain itu, pertanyaan ini juga menjadi dasar dari salah satu penelitiannya. Penelitian Baumrind (1967) berjudul Child care practices anteceding three patterns of preschool behavior menunjukkan bahwa adanya perbedaan gaya asuh yang diberikan oleh caregivers-lah yang menyebabkan perbedaan perilaku dan sifat anak-anak pra-sekolah tersebut. Dalam penelitian tersebut, Baumrind merumuskan tiga jenis pola/gaya asuh dari caregivers. Enam belas tahun setelahnya, teori Baumrind tersebut akhirnya dikembangkan lagi oleh Maccoby & Martin (1983). Kedua ilmuwan tersebut akhirnya membagi gaya asuh menjadi empat jenis. Apa saja empat gaya asuh tersebut? Bagaimana perkembangan anak dari tiap gaya asuh tersebut?

Sebelum kita membahas empat gaya asuh dan dampaknya, kita harus menyepakati beberapa hal terlebih dahulu. Pertama, setiap orang tua pastinya mengasuh anak mereka dengan suatu cara tertentu. Kedua, orang tua dari satu keluarga ke keluarga lainnya pastinya menerapkan suatu gaya asuh yang berbeda. Kedua hal tersebut penting untuk diingat karena tentunya latar belakang orang tua, cara mereka dibesarkan, ataupun faktor pendidikan pun akan menyebabkan perbedaan gaya asuh orang tua kepada anaknya. Setelah menyepakati kedua hal ini, mari kita membahas mengenai jenis gaya asuh yang ada.

Pada dasarnya, empat gaya asuh yang akan dibahas merupakan variasi dari dua hal, yaitu warmth dan control. Istilah warmth digunakan untuk menjelaskan kehangatan yang diberikan orang tua kepada anaknya. Semakin tinggi tingkat warmth, maka semakin tinggi kehangatannya. Istilah control digunakan untuk menjelaskan kendali yang diberikan orang tua kepada anaknya. Setelah memahami ini, kita akan siap membahas tentang jenis-jenis gaya asuh.

Kita mulai dengan gaya asuh yang pertama, yaitu authoritative/otoritatif. Gaya asuh ini ditandai dengan tingginya warmth dan tingginya control. Pada dasarnya, gaya asuh jenis ini menekankan pada komunikasi dua arah antar anak dan orang tua. Orang tua mendorong anaknya untuk menjadi mandiri, tetapi mereka juga memberi batasan dan kendali terhadapnya. Orang tua yang menerapkan gaya asuh ini memiliki beberapa ciri, seperti bertanggung jawab, mendukung, dan cenderung tidak kasar. Komunikasi dua arah yang ditekankan dapat berarti anak dilibatkan dalam komunikasi yang ada dalam keluarga. Misalnya, ketika menerapkan sebuah aturan, orang tua tidak hanya meminta anak untuk mematuhinya saja, namun mereka juga menjelaskan mengapa aturan tersebut diberlakukan, seperti menjelaskan dampak negatif dan positif dari aturan-aturan tersebut. Mereka juga memberikan ruang kepada anaknya untuk mengemukakan suatu pendapat. Dengan kata lain, orang tua memposisikan dirinya sebagai seorang pendengar.

Kedua, jenis gaya asuh authoritarian/otoriter. Gaya asuh ini ditandai dengan rendahnya warmth  dan tingginya control. Kita sebut saja ini adalah gaya asuh yang mengekang. Sama halnya dengan gaya asuh otoritatif, gaya asuh otoriter juga memberi kehangatan, dukungan, dan tanggung jawab kepada anak. Namun, orang tua cenderung menuntut anak untuk mematuhi keinginan atau aturan yang diberikan oleh orang tua. Selain itu, orang tua juga cenderung sering memberikan hukuman ketika anaknya melakukan suatu kesalahan. Mereka juga sering menerapkan aturan tanpa menjelaskan mengapa aturan tersebut diberlakukan. Misalnya, ketika melarang anaknya bermain handphone, orang tua hanya akan mengatakan,”Pokoknya kamu engga boleh mainan HP! Kamu engga boleh ngebantah!”. Contoh lain misalnya, orang tua yang memaksa anaknya untuk masuk ke sekolah kedinasan, padahal anaknya berminat masuk ke dalam universitas negeri favorit. Dengan kata lain, komunikasi dua arah sedikit dilakukan. Orang tua jarang sekali mendengar aspirasi, melihat sudut pandang anak, atau hanya memaksakan kehendak saja.

Ketiga adalah jenis gaya asuh permissive-indulgent, kita sebut saja gaya asuh permisif. Gaya asuh ini ditandai dengan tingginya warmth dan rendahnya control. Gaya asuh ini digambarkan dengan orang tua yang sangat terlibat, hadir, dan bertanggung jawab terhadap anaknya, namum mereka sedikit menerapkan tuntutan atau aturan kepada anak. Orang tua mendidik anak dengan membiarkan mereka melakukan apa yang mereka mau dan inginkan. Dengan kata lain, ini dapat disebut dengan gaya asuh yang memanjakkan. Misalnya, ketika anak meminta dibelikan sebuah handphone, orang tua akan menurutinya dengan cepat, tanpa mempertimbangkan banyak hal, seperti berapa usia yang tepat untuk anak bermain gadget atau apa saja syarat agar anak tersebut dibelikan handphone, nilai yang baik misalnya. Bagi orang tua tipe ini, hal yang paling penting adalah terpenuhinya kebutuhan anak mereka, bukan terpenuhinya keinginan orang tua.

Gaya asuh yang keempat dan terakhir adalah uninvolved-neglectful. Gaya asuh ini dicirikan dengan rendahnya warmth dan rendahnya control. Orang tua memberikan sedikit sekali kehangatan dan kendali terhadap anaknya. Bagi orang tua tipe ini, aspek-aspek kehidupan, seperti pekerjaan, karir, ataupun kekayaan merupakan hal yang lebih penting ketimbang anak mereka sendiri (Santrock, 2018). Orang tua tipe ini cenderung tidak mencukupi kebutuhan anaknya, baik kebutuhan biologis maupun psikis. Bisa dikatakan, anak dari gaya asuh ini merupakan anak yang “ditelantarkan”. Gambaran sederhananya adalah orang tua luweh-ora-luweh kepada anaknya. Mungkin terdengar kasar, namun dapat dikatakan bahwa orang tua tipe ini tidak peduli dengan anak mereka sendiri.

Nah, itulah tadi keempat gaya asuh menurut Baumrind, Maccoby, dan Martin. Keempat gaya asuh tadi memiliki dampak tersendiri bagi perkembangan anak. Tiap gaya asuh dampaknya berbeda dengan gaya asuh lainnya. Anak yang berasal dari gaya asuh yang berbeda memiliki banyak perbedaan dalam aspek kehidupan mereka (Santrock, 2018). Mengapa bisa demikian? Berikut beberapa penjelasannya.

Anak dari gaya asuh authoritative/otoritatif cenderung bertumbuh menjadi anak yang dapat mengendalikan diri, ceria, dan berorientasi prestasi (Santrock, 2018). Mengapa demikian? Ternyata, mereka yang memiliki orang tua otoritatif menganggap dirinya sendiri “berharga” (Cavel, Liem, Lustig, 2010). Kecenderungan lain yang ada adalah mereka bertumbuh dengan sifat yang ramah dan dapat bekerja sama. Ini terjadi dikarenakan mereka terbiasa melakukan komunikasi dua arah dengan orang tuanya. Penelitian Carlo dkk. (2017) menemukkan bahwa anak dari gaya asuh ini terlibat dalam aktivitas prososial yang lebih tinggi ketimbang gaya asuh lainnya. Selain itu, mereka juga memiliki kecenderungan yang lebih sedikit untuk jatuh ke dalam perilaku yang menyimpang, seperti agresi, kekerasan, penggunaan narkoba, dan minum minuman keras (Hoskins, 2014).

Kedua, anak dibesarkan dengan cara otoriter/authoritarian cenderung bertumbuh menjadi anak yang pandai dalam mengikuti sebuah aturan. Loh kok bisa? Jelas, ini dikarenakan anak terbiasa bertumbuh dari lingkungan yang menuntut sesuatu. Dalam hal ini, tuntutan mereka berasal dari orang tuanya. Sifat pandai dalam mengikuti aturan tersebut dapat dikatakan sebuah sifat yang baik, bukan? Di sisi lain, anak tidak terbiasa untuk mengeksplorasi dan bertindak secara mandiri. Jadi, mereka jarang belajar untuk memberi sebuah batasan dan standar kepada diri sendiri. Dengan kata lain, orang tua-lah yang menetapkan standarnya. Selain itu, anak juga cenderung bertumbuh menjadi anak yang kurang bahagia, mudah takut, dan mudah khawatir. Mereka menunjukkan ketidakmampuan dan ketidakberanian dalam memulai sesuatu, bahkan mempunyai kemampuan komunikasi yang buruk. Ini dipengaruhi oleh jarangnya orang tua memberi kesempatan kepada anak untuk mengemukakan pendapat dalam keluarga (Santrock, 2018). Terlebih lagi, mereka juga cenderung berperilaku agresif (Burts dkk., 2003) dan memiliki gejala depresi yang lebih banyak daripada anak dari orang tua otoritatif (King, Marianos, & Vidourek, 2016).

Ketiga, perkembangan anak dari orang tua permissive-indulgent. Santrock (2018) menjelaskan bahwa anak dari gaya asuh ini tumbuh menjadi anak dengan beberapa sifat negatif, seperti manja, egosentris, cenderung tidak patuh, tidak bisa menghargai orang lain, juga tidak dapat mengendalikan perilaku dan keinginan mereka. Sifat-sifat ini tumbuh karena anak terbiasa dimanjakkan dan keinginannya mudah terpenuhi. Segala kemudahan ini membuat anak tidak bisa mengembangkan kemampuan untuk berusaha mencapai sesuatu, egois, dan terbiasa menggantungkan kebutuhan pada orang lain, yaitu orang tua. Penelitian menemukkan bahwa mereka cenderung untuk mengembangkan perilaku menyimpang (Hoskins, 2014) dengan frekuensi penggunaan narkoba yang lebih tinggi, kurang termotivasi untuk bersekolah, dan kurang terlibat dalam kegiatan berorientasi positif (Eyberg, Queidom, & Warmer, 2002), serta memiliki prestasi akademik yang lebih rendah jika dibandingkan dengan orang tua otoritatif atau otoriter (Hernawati, Latifah, & Theresya, 2018). Mereka juga cenderung menunjukkan perilaku yang nakal dan suka membolos pada masa remajanya (Santrock, 2018).

Dan yang terakhir, anak dari orang tua uninvolved-neglectful akan cenderung bertumbuh menjadi anak dengan kemampuan sosialisasi yang buruk. Ini dikarenakan anak tidak mendapat kasih sayang dan kehangatan dari orang tua (Santrock, 2018). Loh apa hubungannya? Perlu diingat, kemampuan berkomunikasi anak pertama kali berkembang dalam keluarga. Jelas, orang tua dengan gaya asuh ini tidak memberikan kehangatan dan jarang berkomunikasi dengan anak sehingga mendorong tidak berkembangnya kemampuan berkomunikasi. Hoskins (2014) menemukkan bahwa anak dari gaya asuh ini tidak memiliki kedekatan secara emosional dengan orang tuanya. Hal ini dapat mendorong tumbuhnya perilaku menyimpang di masa remajanya. Dubas dkk (2009) menemukan hubungan antara gaya pengasuhan ini dengan tindakan kenakalan remaja, seperti vandalisme, pencurian, penyerangan, bahkan pemerkosaan. Anak-anak juga berisiko 2 kali lebih besar untuk merokok dan minum minuman beralkohol (Andrews dkk., 2011). Selain itu, jika dibandingkan dengan tiga gaya asuh lainnya, anak cenderung memiliki tingkat self-esteem yang rendah dan lebih cenderung mengalami gejala depresi (Kehl dkk., 2008; Brody dkk., 2002).

Dengan sedikit mengetahui mengenai gaya asuh dan dampaknya, kita bisa sedikit menyimpulkan bahwa gaya asuh authoritative/otoritatif-lah yang memiliki dampak paling positif bagi perkembangan anak. Sesuai dengan ide Santrock (2018), dalam banyak aspek, anak dari orang tua otoritatif memiliki perkembangan yang paling baik dibandingkan tiga gaya asuh lainnya.

Sebagai orang tua, atau calon orang tua, apakah ada hal yang dapat dilakukan untuk memaksimalkan perkembangan anak melalui gaya asuh? Dengan kata lain, bagaimana orang tua, atau calon orang tua, agar dapat bersikap otoritatif dan anak dapat berkembang secara positif? Berikut adalah beberapa cara yang dapat dilakukan.

Pertama, bersikaplah hangat dan suportif. Ini mendorong perkembangan kemampuan komunikasi anak. Kedua, usahakan tidak menggunakan hukuman fisik sebagai upaya pendisiplinan. Ini dilakukan agar anak tidak berkembang menjadi pribadi yang penakut dan memiliki agresi. Ketika melakukan kesalahan, ajari dan berilah pemahaman pada anak dengan cara yang lembut. Studi selama 20 tahun menunjukkan bahwa ada hubungan antara hukuman fisik dan agresi seorang anak dan remaja pada tahap kehidupan berikutnya. Penjelasannya adalah rasa sakit yang diakibatkan dari hukuman fisik menimbulkan dorongan agresi. Ketiga, libatkan anak dalam dinamika keluarga, baik dalam pembuatan peraturan di rumah, maupun keputusan penting keluarga. Ini mendorong anak belajar mengembangkan perspektif dan mengasah kemampuannya dalam bekerja sama. Terakhir, bantu anak untuk dapat memahami dan meregulasi emosinya. Ini akan mendorong anak dapat belajar meregulasi diri dan mengurangi kecenderungan untuk terkena depresi di masa depannya. (Eisenberg & Spinrad, 2016; Eisenberg, Spinrad, & Morris, 2013; Durant,  & Ensom, 2012; Eisenberg & Valiente, 2002).

Baiklah, setelah mengetahui cara-cara tersebut, mungkin pertanyaan yang selanjutnya muncul adalah selain gaya asuh, apakah ada faktor lain yang memengaruhi perkembangan anak? Tentu, jawabannya adalah iya. Dari awal, kita telah mengupas sedikit mengenai bagaimana penting dan krusialnya gaya asuh dan bagaimana itu dapat memengaruhi perkembangan seorang anak. Namun, kita tidak boleh mengasumsikan bahwa gaya asuh merupakan faktor tunggal penentu perkembangan anak. Jika begitu, apa saja faktor-faktor lain selain gaya asuh?

Sebenarnya, gambarannya cukup sederhana. Ada dua faktor yang memengaruhi perkembangan anak, baik secara langsung maupun tidak. Dua faktor ini adalah faktor biologis dan faktor lingkungan. Apa yang dimaksud faktor biologis adalah faktor-faktor bawaan manusia, seperti gen, nutrisi, dan pola/gaya hidup dari anak tersebut. Faktor lingkungan perannya sangatlah besar pula. Gaya asuh yang kita bahas dari awal termasuk ke dalam faktor lingkungan. Namun, faktor lingkungan juga mencakup hal-hal seperti budaya, lingkungan sekolah, dan peers. Hal yang ingin penulis garis bawahi adalah tidak ada faktor tunggal yang memengaruhi perkembangan anak. Faktor-faktor tersebut secara simultan saling memengaruhi dari skala mikro hingga makro.

Sebagai kesimpulan, peran gaya asuh memanglah sangat krusial bagi perkembangan anak. Apa yang mereka dapatkan sejak kecil, itulah yang akan mereka bawa hingga masa dewasanya kelak. Jadilah orang tua otoritatif sehingga anak dapat berkembang secara maksimal. Penulis akan menutup dengan sebuah kutipan:

Anak-anak itu seperti cermin, mereka melakukan apa yang mereka dengar dan apa yang mereka lihat. Jadilah refleksi yang baik untuk mereka

Terima kasih!`

 

 

NB: Tulisan ini dikembangkan dari tugas akhir matakuliah Rentang Perkembangan Manusia (RPM), Fakultas Psikologi, Universitas Gadjah Mada. Penulis sudah mendapatkan izin dari pihak yang bersangkutan, yaitu dosen dan koordinator matakuliah, untuk mengembangkan tulisan ini dan mengunggahnya pada media tertentu

 

 

 

REFERENSI

Andrews, J. A., Duriez, D., Hampson, S. E., Luyckx, K., Peterson, M. Soenens, B., & Tildeley, E. A. (2011). Parenting and Trajectories of Children’s Maladaptive Behaviors: A 12-Year Prospective Community Study. Journal of Clinical Child & Adolescent Psychology, 40(3), 468-478. doi: 10. 1080/15374416.2011.563470

Baumrind D. (1967). Child care practices anteceding three patterns of preschool behavior. Genet Psychol Monogr, 75(1), 43-88.

Brody, G., Conger, R. D., Gordon, L. C., Lin, K., Murry, V., & Simons, R. L. (2002). Community Differences in the Association Beetween Parenting Practices and Child Conduct Problems. Journal of Marriage and Family, 64(2), 3310345. doi: 10. 1111/j. 1741-3737.2002.00331.x

Bronfenbrenner, U. (1979). The Ecology of Human Development. Cambridge, Massachusetts: Harvard University Press

Burts, D. C., Charlesworth, R., Hart, C. H., & Yang, C. (2003, April). Early Childhood Teacher’s Curriculum Beliefs, Classroom Practices, and Children’s Outcomes: What are the Connections? Biennial Meeting of the Society for Research in Child Develompment, Tampa, Florida, United States of America..

Carlo, G., Knight, G. P., Streit, C., White, R. M. B., & Zeiders, K. H. (2017). Longitudinal Relations Among Parenting Styles, Prosocial Behaviors, and Academic Outcomes in U.S. Mexican Adolescents. Child Development, 89(2), 577-592. doi: 10.1111/cdev.12761

Cavel, E. C., Liem, J. H., & Lustig, K. (2010). The Influence of Authoritative Parenting During Adolescene on Depressive Symptoms in Young Adulthood: Examining the Mediationg Roles of Self-Development and Peer Support. The Journal of Genetic Psychology, 171(1), 73-92. Doi: 10

Dubas, J. S., Eichelsheim, V. I, Gerris, J. R., Hoeve, M., Smeenk, W., & Van deer Laan, P. H. (2009). The Relationship Between Parenting and Delinquency: A Meta-Analysis. Journal of Abnormal Child Psychology. 37(6), 749-775. doi: 10. 1007/s10802-009-9310-8

Durrant, J., & Ensom, R. (2012). Physical punishment of children: lesson from 20 years of research. Canadian Medical Association Journal, 184(12), 1373-1377. Doi: 10.1503/cmaj.101314

Eisenberg, N., & Spinrad, T.L. (2016). Multidimensionality of Prosocial Behavior: Rethinking the Conceptualization and Development of Prosocial Behavior. In L. Padilla-Walker & G. Carlo (Eds.), Prosocial behavior. New York: Oxford University Press.

Eisenberg, N., Spinrad, T.L., & Morris, A.S. (2013). Prosocial Development. In P.D. Zelazo (Ed.), Oxford Handbook of Developmental Psychology. New York: Oxford University Press

Eisenberg, N., & Valiente, C. (2002). Parenting and Children’s Prosocial and Moral Development. In M.H. Bornstein (Ed.), Handbook of Parenting (2nd ed.). Mahwah, New Jersey: Erlbaum.

Eyberg, S. M., Querido, J. G., & Warner, T. D. (2002). Parenting Styles and Child Behavior in African American Families of Preschool Children. Journal of Clinical Child & Adolescent Psychology, 31(2), 272-277. doi: 10. 1207/s15374424jccp3102_12

Hernawati, N., Latifah, M., & Theresya, J. (2018). The Effect of Parenting Style, Self-Efficacy, and Self-Regulated Learning on Adolescents’s Academic Achievement. Journal of Child Development Studies, 3(1), 28-43.

Hoskins, D., H. (2014). Consequences of Parenting on Adolescent Outcomes. Societies, 4, 506-531. doi: 10.3390/soc4030506

Kehl, R., Klem, L., Milevsky, A., & Schlechter, M. (2008). Constellations of Maternal and Parternal Parenting Styles in Adolescene: Congruity and Well-Being. Marriage & Family Review, 44(1), 81-98. doi: 10. 1080/01494920802185447

King, K. A., Merianos, A. L., & Vidourek, R. A. (2016). Authoritarian parenting and youth depression: Results from a national study. Journal of Prevention and Intervention in the Community, 44, 130–139

Maccoby, E., & Martin, A. (1983). Socialization in the Context of the Famili: Parent-Child Interaction. In Mussen, P.H. &  Hetherington, E.M, Handbook of Child Psychology: Socialization, Personality, and Social Development (4th ed., pp. 1-101). Chichester, New York: Wiley

Santrock, J. W. (2018). A Topical Approach to Life-Span Development (9th ed.). New York: McGraw-Hill Education.

Oleh:

Dewan Laksamana Putra

 

sumber gambar: unsplash.com/carolinehdz

Categories: Artikel

0 Comments

Leave a Reply

Avatar placeholder

Your email address will not be published.