Beda budaya, beda dunia. Lain lingkungan, lain lagaknya. Bila kita memikirkan keragaman dan perbedaan budaya kita akan terpikir berkaitan norma, bahasa, artefak, keyakinan, kesenian. Namun, tinjauan psikologi sendiri menemukan adanya perbedaan yang samar dan bahkan sama sekali tidak terlihat. Bahkan, pandangan mengenai aspek-aspek fundamental manusia berpotensi tidak akurat bila diterapkan secara universal. Ini karena sebuah teori memiliki karakteristik khas dari kebudayaan asalnya, yang kemungkinan tidak ada di kebudayaan lain.

Perbedaan budaya dapat berarti cara berpikir yang berbeda. Tetapi perbedaan cara pikir ini dapat terlihat lebih samar daripada perbedaan keyakinan atau beda filsafat. Contohnya adalah perbedaan kategorisasi. Ketika diminta mengelompokkan dua kata dari tiga, yaitu anjing, wortel, dan kelinci. Partisipan yang berasal dari Amerika Serikat mengelompokkan anjing dengan kelinci, sedangkan partisipan asal Tionghoa mengelompokkan kelinci dengan wortel (Ji, Zhang, & Nisbett, 2004). Hal ini diinterpretasikan sebagai perbedaan cara berpikir yang umum antarbudaya. Orang Amerika mengelompokkan kata-kata berdasarkan kesamaan atribut, sedangkan orang Tionghoa mengelompokkan berdasarkan hubungan kedua kata. Cara berpikir pertama disebut pengelompokan taksonomis, dan yang kedua disebut pengelompokan tematis. Bukan berarti orang Amerika tidak bisa berpikir tematis dan orang Tionghoa sebaliknya, tetapi pada budaya tertentu ada kecenderungan kognisi yang bisa berbeda dari budaya lain.

Prediktor di budaya A tidak selalu menjadi prediktor di budaya B. Contohnya adalah kebahagiaan. Di kebudayaan individualis, kebahagiaan lebih bergantung kepada self-esteem daripada budaya kolektivis. Mengapa bisa? Hal ini karena di budaya individualis, hubungan sosial berganti-ganti dan tidak tetap, orang berpindah-pindah kelompok, memiliki teman yang berganti-ganti. Karena hubungan sosial lebih lemah, kebahagiaan lebih bergantung pada tanggapan positif kepada diri sendiri, oleh dirinya sendiri (Yuki dkk. 2013).

Dibandingkan dengan konsep kebahagiaan orang Jepang, kebahagiaan bagi orang mereka bergantung pada harmoni relasional dan keadaan yang dialami bersama. Tidak sekedar “aku bahagia”, tapi justru “aku dan orang di sekitarku berbahagia”. Kebahagiaan pribadi terikat pada kebahagiaan orang-orang di hubungan sosialnya, bukan sebagai sesuatu yang disimpan dalam diri sendiri. Ini adalah konsep yang disebut Interdependent Happiness (Hitokoto & Uchida, 2015).

Kepribadian, sebuah variabel yang bertipe sama lintas budaya, memiliki memiliki kekuatan pengaruh yang bervariasi lintas budaya. Misalnya, pada masyarakat yang tidak terlalu religius, kepribadian Honesty-Humility berkorelasi kecil dengan relijiusitas seseorang, tetapi pada masyarakat religius justru berkorelasi besar (Ashton & Lee, 2020). 

Contoh lain yang lebih spesifik adalah kewirausahaan di masyarakat. Pada awalnya, adanya perkiraan bahwa individualisme berhubungan positif dengan kewirausahaan. Namun, ketika perekonomian negara ikut dianalisis, korelasi individualisme dengan kewirausahaan berhubungan positif hanya pada negara yang kaya, tapi pada negara yang kurang kaya justru berhubungan negatif (Pinillos & Reyes, 2011).

Demikianlah beberapa aspek psikologis yang berbeda antarbudaya. Perbedaan antarbudaya tidak selalu ada pada norma, artefak, atau aspek lain yang dapat diamati dengan jelas. Kondisi psikologis antarmasyarakat pula dapat berbeda secara samar dan tidak mungkin diketahui tanpa telaah ilmiah yang sistematis. Karakteristik psikologis manusia yang sangat mendasar pun dapat berbeda, dan tidak bisa semena-mena kita mendeskripsikan psikologi yang sifatnya universal tanpa perhatian pada dunia asalnya.

 

Referensi

Ashton, M. C., & Lee, K. (2020). A Review of Personality/Religiousness Associations. Current Opinion in Psychology.

Hitokoto, H., & Uchida, Y. (2015). Interdependent happiness: Theoretical importance and measurement validity. Journal of Happiness Studies16(1), 211-239.

Ji, L. J., Zhang, Z., & Nisbett, R. E. (2004). Is it culture or is it language? Examination of language effects in cross-cultural research on categorization. Journal of personality and social psychology87(1), 57.

Pinillos, M. J., & Reyes, L. (2011). Relationship between individualist–collectivist culture and entrepreneurial activity: evidence from Global Entrepreneurship Monitor data. Small Business Economics37(1), 23-37.

Yuki, M., Sato, K., Takemura, K., & Oishi, S. (2013). Social ecology moderates the association between self-esteem and happiness. Journal of Experimental Social Psychology49(4), 741-746.

 

Oleh:

Afrizal Hasbi Azizy 19/442839/PS/07893

 

sumber gambar: unsplash.com/didigitalsennin

Categories: Artikel

0 Comments

Leave a Reply

Avatar placeholder

Your email address will not be published.