Berita

Perbincangan mengenai kualitas penyiaran di televisi bukan lagi merupakan hal baru yang sering dibicarakan. Berbagai kalangan masyarakat senantiasa mengeluarkan pendapat mereka dan menimbulkan berbagai polemik mengenai kualitas pertelevisian Indonesia yang memang sebagian besar diatur oleh KPI. Mengutip dari kompas.id, 23 tahun sudah reformasi berjalan sejak 1998 yang disusul melejitnya penggunaan internet di Indonesia, namun dunia penyiaran justru dapat dikatakan mengalami disrupsi. Adanya sistem rating nelson yang umum digunakan media sebagai acuan mana yang ditonton ataupun ditinggalkan masyarakat serta menjadi penilaian program yang dapat dianggap “favorit” membuat pemegang program tv justru menjadi kurang memperhatikan isi dari konten yang ditayangkan. Sudah menjadi rahasia umum bahwa program dengan rating dan share yang tinggi belum tentu memiliki kualitas tayangan dan konten yang mendidik dan bermanfaat bagi masyarakat (Yuniarto, 2021).

Wisnu Martha Adiputra, staf pengajar Departemen Ilmu Komunikasi Fisipol UGM menyampaikan dalam Harian Jogja mengenai keresahannya terkait kualitas penyiaran Indonesia yang terus menurun. Ia mengkritik konten-konten yang disiarkan di televisi, mulai dari pernikahan selebriti selama berjam-jam hingga pengglorifikasian selebriti yang dianggap mengganggu ruang publik dan begitu berlebihan.

Penayangan rangkaian pernikahan selebriti juga dikritisi oleh Koalisi Nasional Reformasi Penyiaran (KNRP) yang mengatakan bahwa tayangan tersebut menggunakan frekuensi publik secara semena-mena tanpa adanya kepentingan publik secara luas serta dinilai telah melanggar Pedoman Perilaku Penyiaran (P3) Pasal 11 dan Standar Program Siaran (SPS) Pasal 13 (Soulsa, 2021). Dalam hal ini, KPI sebagai regulator dalam penayangan dan penyiaran dinilai lemah dan tidak antisipatif. Ditambah lagi, beberapa waktu lalu, KPI mendapatkan kritik yang cukup keras. Kritik ini diberikan karena KPI membiarkan tayangan serial mengenai dinamika kehidupan seorang istri yang mengalami perselingkuhan dan poligami dengan menjadikan seorang anak berusia 15 tahun sebagai pemeran dari tokoh tersebut. Nuning, ketua KPI mengakui bahwa sistem pengawasan KPI tidak mendeteksi usia pemeran, melainkan hanya kontennya saja. Hal ini patut menjadi kritik yang harus lebih diperhatikan kedepannya karena perbedaan usia pemain pun bisa menjadikan makna dari suatu konten menjadi berbeda. Berbagai tayangan problematik tersebut menunjukkan bukti bahwa kualitas penayangan atau penyiaran di Indonesia masih membutuhkan peninjauan ulang demi kualitas tontonan yang lebih baik.

Kritik lainnya adalah bagaimana konten-konten TV seringkali menyajikan konten-konten yang mengaburkan prinsip akal sehat. Misalnya ketika sinematografi yang digambarkan tidak merefleksikan bagaimana realita terjadi atau ketika alur cerita dari suatu program telah melenceng dari tujuan awalnya. Bukan menyudahi cerita tapi media lebih memilih untuk menutupnya dengan peristiwa-peristiwa tragis atau keajaiban seperti kembalinya suatu tokoh dari kematian.

Tayangan yang ditampilkan pada TV nasional sangat beragam, mulai dari konten yang menghibur hingga konten edukasi. Konten edukasi pada TV nasional, diketahui tidak sebanyak seperti pada platform penayangan lain, seperti Youtube. Menurut riset Statista pada tahun 2020, adanya layanan streaming makin mengecilkan minat pada peran TV konvensional. Survei Jakpat pada tahun 2019 menyebutkan bahwa terdapat masyarakat yang tidak menyukai tayangan TV. Sejumlah 74% diantaranya beralasan bahwa tayangan TV kurang menyampaikan konten yang bersifat edukasi. Hal ini diperkuat dengan survei yang diselenggarakan oleh Katadata Insight Center pada tahun 2020 yang menunjukkan bahwa stasiun TV yang paling diminati adalah TV ONE, dengan mayoritas pemaparan program terkait berita terkini dan edukasi.
Di sisi lain, tayangan TV Nasional juga digemari karena memuat banyak konten menghibur dan ringan, seperti sinetron. Survei dilakukan oleh Narasi pada tahun 2021 dengan menyasar penonton sinetron “Ikatan Cinta”. Berdasarkan survei tersebut, sinetron ini begitu digemari karena menampilkan berbagai suasana, yakni melalui adegan yang lucu, romantis, menegangkan, hingga baper yang dianggap sangat lengkap dan mampu menghibur. Namun, melalui riset yang diadakan oleh Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), program yang dinilai tidak berkualitas menurut respondennya adalah variety show, infotainment, dan sinetron, dengan angka paling rendah pada sinetron bernilai 2,56 dibandingkan standar KPI (3,00).
Berdasarkan riset KPI terkait indeks kualitas program siaran TV, terdapat peningkatan kualitas dari tahun ke tahun, terlepas indeks yang dimaksud adalah indeks utama ataupun per program. Bahkan, pada beberapa tajuk utama berita, kualitas ini dianggap naik secara signifikan. Namun, berdasarkan penilikan lebih lanjut, peningkatan yang terjadi tidak pesat. Sebagai contoh, program sinetron sendiri berada di angka indeks 2,51 di tahun 2015 (KPI, 2015) dan meningkat menjadi 2,56 (KPI, 2021) pada tahun 2021. Namun, tampak pada tahun 2021 dilabelkan sebagai ‘signifikan’ karena sudah hampir mendekati standar KPI 2021 yakni angka 3, sedangkan pada 2015, standar KPI sendiri berada di angka 4. Oleh karena itu, signifikansi ini tidak disebabkan oleh angka indeks program yang meningkat drastis, namun karena angka standar KPI yang diturunkan. Indeks ini sendiri dinilai berdasarkan indikator standar KPI.

 

Penyebab

Pada dasarnya, terdapat beberapa teori psikologi yang dapat digunakan untuk menjelaskan mengapa beberapa jenis acara lebih digemari dibandingkan dengan yang lainnya, yaitu teori uses and gratification dan elaboration likelihood model. Teori uses and gratification menyatakan bahwa penonton memiliki kendali aktif dalam memilih dan menggunakan media (Nurudin, 2009), salah satunya program acara TV. Penonton juga berusaha mencari sumber media yang dapat memenuhi kebutuhannya seperti yang berdasarkan atas kepuasan, keinginan, kebutuhan, maupun motif. Mendukung hal tersebut, Swanson (dalam Miller, 1992) juga menemukan bahwa penonton memiliki alasan dalam mengakses media. Selanjutnya, penonton juga mendapatkan gratifikasi dari media sehingga alasan ini membuat penonton memiliki motivasi untuk menonton TV, dan yang terakhir, penonton menggunakan kemampuan mereka seperti motivasi dan keinginan mereka untuk menggunakan media. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa penonton memiliki kendali penuh atas apa yang mereka lakukan untuk menonton TV. Berbagai alasan penonton menonton TV ini dapat membuat suatu pola atau motif yang akan mengarahkan perilaku individu dalam menggunakan media.

Sementara itu, teori elaboration likelihood model menjelaskan bahwa saat seseorang dihadapkan dengan informasi, individu tersebut akan mencoba untuk membentuk opini. Opini tersebut dapat terbentuk melalui dua cara yaitu central route dan peripheral route (Hewstone dkk., 2012). Central route membutuhkan kapasitas kognitif dan usaha yang lebih besar jika dibandingkan dengan peripheral route sehingga individu mungkin akan lebih mudah untuk memproses informasi menggunakan peripheral route. Oleh karena itu, acara-acara hiburan yang “tidak membutuhkan pemikiran keras” untuk diproses dan dipahami, mungkin lebih digemari karena dapat dimengerti dengan pemrosesan informasi peripheral route.

 

Dampak dalam aspek psikologis

Konten televisi dapat dengan mudah menyuguhkan informasi maupun konten-konten hiburan yang menjadi sarana dalam melepas penat dari hiruk pikuk kegiatan. Namun perlu diperhatikan bahwa televisi juga mampu memberikan dampak lain bagi individu maupun masyarakat. Bryant & Oliver (2009) menyebutkan konten yang disuguhkan TV mampu memengaruhi persepsi khalayak tentang apa yang dianggap penting dan apa yang akan menjadi urusan mereka. Misalnya, ketika pernikahan selebriti menjadi hal yang terus menerus disoroti media maka tidak mengherankan ketika kemudian masyarakat juga melihat bahwa segala sesuatu terkait hal tersebut juga merupakan hal yang penting untuk masyarakat bicarakan, pikirkan, atau mungkin perlu mereka urus. Sama halnya ketika narasi-narasi keadilan dari diskriminasi disuarakan maka masyarakat juga akan menjadikan hal tersebut sebagai hal yang perlu disuarakan. Selanjutnya, Gebner (dalam Azwar dkk, 2019) menjelaskan bagaimana terpaan media mampu memberikan pengaruhnya pada persepsi, sikap, dan nilai-nilai seseorang. Artinya, apa yang disuguhkan media mampu membuat penontonnya membentuk ataupun mengubah persepsi mereka akan realita yang dalam hal ini juga terkait dengan nilai-nilai yang akan dipegang serta bagaimana seseorang akan bersikap. Hal ini dapat dilihat salah satunya pada bagaimana media membentuk stereotip terkait kelompok tertentu. Media juga sangat berperan dalam membentuk atau mengubah citra akan suatu hal (Habibie, 2018), ketika media menggambarkan candaan bernada shaming secara terus menerus bukan tidak mungkin bahwa shaming kemudian dipersepsikan sebagai sesuatu yang wajar untuk dilakukan. Begitu pula terhadap citra dari perilaku kekerasan (Ginting dkk, 2018) dan kejahatan seksual (Narasi Newsroom, 2021).

Perspektif lain yang dapat menjelaskan dampak psikologis dari kualitas penayangan televisi adalah social learning theory dari Albert Bandura. Pada dasarnya, Bandura berpendapat bahwa seorang individu dapat mempelajari perilaku dan strategi kognitif dengan mengobservasi perilaku orang lain, yang mana hal ini dapat dipelajari tanpa diperkuat secara langsung (Green & Peil, dalam Nabavi, 2012). Dalam konteks ini, penelitian nasional yang dilakukan oleh Rohmah & Munaah (2020) dapat membuktikan bahwa sebagian besar perilaku remaja Indonesia dipengaruhi oleh hasil observasi televisi. Selain itu, penelitian yang dilakukan oleh Astarini dkk. (2018) pun menjelaskan bahwa dampak tayangan televisi sinetron dapat memengaruhi perilaku sosial anak yang disebabkan oleh perilaku imitasi anak tersebut saat menonton televisi.
Berdasarkan artikel yang ditulis oleh Christine (1999), Bandura menjelaskan empat efek dari paparan kekerasan di televisi. Pertama, tayangan tersebut dapat mengajarkan perilaku agresif. Kemudian, tayangan yang dimaksud dapat melemahkan penahanan terhadap agresi dengan mengagung-agungkan kekerasan. Bahkan, penonton akan lebih terpengaruh ketika tayangannya berisi “kebaikan menang atas kejahatan dengan kekerasan.” Ketiga, tayangan ini menormalisasikan, membiasakan, dan mengurangi reaksi terhadap kekejaman. Pada akhirnya, hal ini membentuk citra realitas dalam diri seseorang. Hal ini juga terdapat dalam penelitian Amalia (2016) yang mengungkapkan bahwa semakin tinggi intensitas seseorang menonton sebuah sinetron yang menampilkan adegan kekerasan antar kelompok maka semakin tinggi pula perilaku antisosialnya. Selain itu, penelitian ini mengungkapkan pula bahwa semakin tinggi perceived reality (respon internal seseorang mengenai kesamaan peristiwa dalam media dengan keadaan nyata) seseorang maka perilaku antisosial orang tersebut akan semakin tinggi. Bukti penelitian yang serupa pun diungkapkan oleh Pradana dkk. (2018) bahwa semakin tinggi seorang siswa menonton acara kekerasan di televisi, semakin tinggi pula perilaku agresifnya.

 

Pola pikir dan pola perilaku

Televisi Indonesia memiliki ciri khas, yaitu menayangkan acara televisi dengan konten berupa informasi yang tak asing didengar oleh masyarakat. Namun, tayangan televisi di Indonesia kini justru cenderung membahas informasi yang cenderung negatif (Azwar dkk., 2019), contohnya seperti pada beberapa paparan berita yang telah dibahas sebelumnya. Acara televisi yang tayang pada prime time (waktu istirahat paling baik) memang menyebabkan banyaknya orang yang tertarik untuk menonton. Namun, jika konten yang disajikan adalah konten yang mengandung tindakan kekerasan, kata-kata yang kotor, dan adegan-adegan negatif lainnya, ini akan berpengaruh pada pola perilaku dan pola pikir seseorang. Menurut Denis McQuail (2011) dalam Azwar dkk. (2019) media massa memiliki fungsi utama, seperti informasi, korelasi, kesinambungan, hiburan, dan mobilisasi. Penjelasan lebih lanjut oleh McQuail bahwa hiburan berfungsi sebagai pengalihan perhatian, sarana relaksasi bagi masyarakat, serta untuk pereda ketegangan sosial (McQuail, 2011: 72). Jadi, selama seseorang masih memiliki kontak langsung dengan televisi, maka mereka akan belajar tentang dunia, mengubah persepsi mereka tentang dunia, belajar bersikap, dan nilai-nilai orang (Azwar dkk., 2019).
Banyak acara televisi di Indonesia yang masih bertentangan dengan regulasi penyiaran. Masih ada suatu acara televisi yang tidak mematuhi aturan dan justru cenderung melanggarnya. Sebenarnya, buruknya kualitas acara televisi di Indonesia disebabkan karena keinginan mereka yang lebih mementingkan rating program daripada konten yang ingin mereka berikan dan sampaikan kepada masyarakat. Perubahan perilaku dan pola pikir masyarakat terhadap suatu isu di lingkungan, dapat terlihat dari tayangan yang mereka tonton. Semakin baik dan berisi banyak pengetahuan, maka masyarakat akan semakin pandai dalam menangani setiap permasalahan dan menghadapi kehidupan sehari hari. Sebaliknya, jika masyarakat menonton tayangan yang mengandung hal-hal negatif, maka pola perilaku dan cara berpikir mereka akan mengikuti seperti yang telah mereka tonton (Azwar dkk., 2019).

 

Kesimpulan

Berbagai tayangan pertelevisian di Indonesia kini makin beragam, bukan hanya siaran berita dan sinetron saja. Tayangan tersebut tentu dapat memberikan dampak bagi para penontonnya, baik dampak positif maupun negatif terhadap pola pikir hingga perilaku. Dampaknya pun sangatlah nyata dan dapat kita lihat secara langsung. Berbagai dampak tersebut dapat menjadi suatu indikator yang menunjukkan bahwa dinamika tayangan pertelevisian di Indonesia sangat berpengaruh terhadap pola pikir dan kebiasaan yang berkembang di masyarakat.

Oleh karena itu, sebagai masyarakat kita perlu untuk bersikap bijak dalam memilah dan memilih tayangan mana yang sekiranya dapat memberikan dampak positif, dan mana yang tidak. Apabila terus dibiarkan, tayangan pertelevisian yang kurang berkualitas berpotensi memberikan dampak negatif yang lebih besar bagi masyarakat karena kecenderungan masyarakat yang senang mengkonsumsi tayangan dari media televisi.

Meski begitu, selera tetaplah selera. Tidak ada yang salah dari selera seseorang. Sebagai masyarakat sekaligus penonton, kita juga dapat bertindak dan memberi solusi mulai dari hal paling sederhana, contohnya dengan memilih tontonan yang positif, harapannya sikap ini akan menaikkan rating untuk tontonan positif pula sehingga tren pada masyarakat berganti dari yang mulanya cenderung menikmati tontonan yang bersifat hiburan semata menjadi beralih ke tontonan yang bermanfaat untuk kehidupan sehari-hari. Memilih dan memutuskan untuk menonton suatu tayangan adalah hak mutlak individu itu sendiri karena kita yang memegang tuas kontrol atas diri kita sendiri.

Jadi, apa yang akan kamu tonton hari ini, esok, dan kedepannya?

 

Referensi
Amalia, E. (2016). Hubungan Intensitas Menonton Sinetron “Anak Jalanan” dan
Perceived Reality Terhadap Perilaku Antisosial. Skripsi.

Astarini, N., Hamid, S. I., Rustini, T. (2018). Studi Dampak Tayangan Televisi Terhadap Perkembangan Perilaku Sosial Anak. Jurnal Pendidikan Anak Usia Dini, 8(1)

Azwar, A., Shanti, H. D., & Arumdhani, K. (2019). Dampak Sinetron Indonesia Terhadap Perilaku Masyarakat. JOURNAL OF DIGITAL EDUCATION, COMMUNICATION, AND ARTS (DECA), 2(02), 89-98.

Bryant, J., & Oliver, M. B. (Eds.). (2009). Media effects: Advances in theory and research. Routledge.

Cahyana, B. (2021). Memprihatinkan, Kualitas Penyiaran Indonesia Terus Menurun. https://jogjapolitan.harianjogja.com/read/2021/09/13/510/1082706/memprihatinkan-kualitas-penyiaran-indonesia-terus-menurun

Christine, V. (1999). Albert Bandura Lecture “The Power of Social Modeling: The Effects of Television. Bing Distinguished Lecture Series.

Ginting, R. S., & Pohan, R. (2018). Persepsi Masyarakat Terhadap Program Acara Pesbukers Di Antv. JURNAL SIMBOLIKA: Research and Learning in Communication Study, 4(1), 1-14.

Green, M., & Piel, J. A. (2009). Theories of human development. A comparative approach (second ed.): Prentice-Hall, Inc.

Habibie, D. K. (2018). Dwi fungsi media massa. Interaksi: Jurnal Ilmu Komunikasi, 7(2), 79-86.

Hewstone, M., Stroebe, W., & Jonas, K. An Introduction to Social Psychology (5th ed.). 2012. BPS Blackwell.

Katadata Insight Center. (2020). Stasiun Televisi Nasional yang Biasa Diakses Masyarakat. Databoks.https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2020/11/24/survei-kic-tv-one-paling-diminati-masyarakat

Komisi Penyiaran Indonesia. (2015). Survei Indeks Kualitas Program Siaran Televisi Tahun
2015. KPI. http://kpi.go.id/download/Pengumuman/Handout-hasil-survei-indeks-kualitas
-program-siaran-televisi-maret-april-2015-KPI.pdf

Komisi Penyiaran Indonesia. (2021). Survei Indeks Kualitas Program Siaran Televisi Tahun
2021. KPI. http://kpi.go.id/download/Pengumuman/Handout-hasil-survei-indeks-kualitas
-program-siaran-televisi-maret-april-2015-KPI.pdf

Miller, Katherine. (2001). Communication Theories Perspective, Processes, and Contexts. USA: McGraw Hill.

Narasi Newsroom. (2021). Saipul Jamil dan Bahaya Glorifikasi Pelaku Kekerasan Seksual | Narasi Newsroom. A video retrieved from https://www.youtube.com/watch?v=0YCMSzFektk&t=7s

Nurudin, M.Si. (2009). Pengantar komunikasi massa. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada

Pradana, Y. U., Dwikurnaningsih, Y., Setyorini. (2018). Hubungan Antara Menonton Acara Kekerasan Televisi Dengan Perilaku Agresif Siswa SMP di Salatiga. Jurnal Manajemen Pendidikan, 5(1). doi.org/10.24246/j.jk.2018.v5.i1.p55-65.

Putri, R. L. (2021). Riset Indeks Kualitas program Siaran Televisi periode I-2021: Lima Kategori Program Penuhi standar KPI. iNews.ID. Dikutip pada 25 September melalui https://www.inews.id/news/nasional/riset-indeks-kualitas-program-siaran-televisi-periode-i-2021-lima-kategori-program-penuhi-standar-kpi.

Rohmah, N. N., Munaah. (2020). Perilaku Sosial Remaja dan Tayangan Televisi (Analisis Teori Kultivasi). Jurnal Komunikasi dan Penyiaran Islam, 3(2). 17-40.
Soulsa, H. (2021). Kritik di Balik Penayangan Acara Lamaran Selebritas di Layar Kaca yang Menggunakan Frekuensi Publik. Retrieved September 25, 2021 from https://www.abc.net.au/indonesian/2021-03-17/kritik-di-balik-penayangan-acara-lamaran-selebritas-di-televisi/13249128

Statista. (2020). Layanan Streaming Mulai Menggeser Televisi Konvensional. Databoks.
https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2020/09/22/layanan-streaming-mulai-menggeser-televisi-konvensional

Yuniarto, T. (2021). Dinamika Penyiaran dan Peran KPI. https://www.kompas.id/baca/riset/2021/09/18/dinamika-penyiaran-dan-peran-kpi/

Categories: Artikel

0 Comments

Leave a Reply

Avatar placeholder

Your email address will not be published.