Pada tanggal 21 Agustus 2024, banyak unggahan berupa gambar burung garuda dengan latar biru dan tulisan “Peringatan Darurat” berseliweran di media sosial. Kok bisa, ya, rame banget? Unggahan “Peringatan Darurat” menjadi tanda amarah masyarakat terhadap upaya DPR untuk mengesahkan RUU Pilkada yang bertentangan dengan putusan MK. Tanda amarah tersebut sekaligus menjadi ajakan kepada masyarakat untuk peduli dan bersama-sama mengawal isu terkait. Banyak anggapan bahwa RUU Pilkada ini bertujuan untuk semata-mata menguntungkan kembali keluarga Presiden Jokowi. Pasalnya, kontroversi serupa juga mengelilingi isu pengangkatan Gibran Rakabuming Raka sebagai calon wakil presiden. Peristiwa-peristiwa tersebut memperkuat pandangan masyarakat bahwa ada tanda-tanda praktik nepotisme yang sedang berlangsung.

HAH, NEPOTISME?

Berdasarkan definisi dalam UU No. 28 Tahun 1999, nepotisme merupakan setiap perbuatan penyelenggara negara secara melawan hukum yang menguntungkan kepentingan keluarganya atau kroninya di atas kepentingan masyarakat, bangsa, dan negara. Upaya Presiden Jokowi dalam mengalihkan tongkat kepemimpinan kepada keturunannya diduga merupakan strategi untuk mempertahankan keberlanjutan program-program yang telah diusung selama masa kepemimpinannya. Prasangka ini didukung dengan perkataan Presiden Jokowi dalam acara “Apel Kader Partai Gerindra” pada 31 Agustus 2024 lalu, “Keberlanjutan itu sangat penting, baik itu keberlanjutan program kerakyatan, baik itu keberlanjutan pembangunan infrastruktur dan SDM, baik itu keberlanjutan hilirisasi industri, IKN, dan ekonomi hijau.” Dengan menjabatnya orang-orang pilihan beliau, Presiden Jokowi dapat menitipkan programnya agar tetap terlaksana.

 

BAGAIMANA PSIKOLOGI KEPERILAKUAN MEMAHAMI NEPOTISME?

Menurut perspektif sosial, nepotisme diartikan sebagai bentuk pilih kasih (favoritism) yang didasarkan pada kekerabatan (kinship) (Bellow, 2004). Dalam konteks ini, politik kekerabatan (kinship politics) dapat berkembang menjadi politik dinasti ketika yang bersangkutan dapat memperluas kekuasaannya sehingga pendiri dinasti tersebut tidak kehilangan jabatannya, melainkan digantikan oleh anggota keluarganya (Pertiwi & Widodo, 2021). Menurut Purwaningsih (2015), fenomena ini dapat dilatarbelakangi oleh keinginan yang kuat dari pemegang kekuasaan untuk mempertahankan kekuasaan dengan membentuk keluarga politik di tingkat lokal. Di samping itu, nepotisme antara orang tua dan anak dapat didasari oleh prinsip kin altruism, yang melihat nepotisme sebagai salah satu bentuk tindakan sukarela yang dilakukan orang tua untuk menjamin kesejahteraan anak-anaknya (Burhan dkk., 2020). Dalam konteks ini, Presiden Jokowi diduga bermaksud untuk “menyediakan” pekerjaan yang menjamin kehidupan keturunannya. Lantas, apakah nepotisme berdampak pada penyelenggaraan negara? 

 

NEPOTISME SEBAGAI GEJALA PATRIMONIALISME

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, patrimonialisme berakar dari kata “patrimonial” yang berarti hal-hal yang mengenai warisan dari bapak. Patrimonialisme didefinisikan sebagai sistem pemerintahan yang memanfaatkan patronasi dan posisi untuk mempertahankan kekuasaan, serta berkaitan erat dengan negara yang kekurangan identitas nasional atau struktur otoritas yang sah (Baland dkk., 2010). Apabila terus dipertahankan, sistem ini berpotensi mengancam meritokrasi dan menjadi racun demokrasi dalam negara. 

 

KENAPA MENGANCAM MERITOKRASI DAN DEMOKRASI?

Praktik patrimonialisme yang mengedepankan prinsip nepotisme dapat mengikis prinsip meritokrasi. Prinsip ini  menilai kualifikasi individu berdasarkan kemampuan, bakat, dan usahanya alih-alih berdasarkan koneksi, latar belakang, dan kelas sosial. Inti dari sistem meritokrasi adalah mengedepankan paham bahwa setiap orang memiliki kesempatan yang sama untuk sukses jika mereka bekerja keras dalam mengembangkan kemampuan dan prestasinya. Hal ini, tentunya,  mendorong keadilan dan kesetaraan peluang untuk menjadi seseorang yang terpilih (Tan, 2008). Maka dari itu, nepotisme merusak meritokrasi dengan menggantikan penilaian berbasis kemampuan dan prestasi dengan pemanfaatan kekuasan dan koneksi. Akibatnya, tercipta ketidakadilan yang berpotensi untuk menghambat kemajuan sosial serta pembangunan yang adil.

Tidak berhenti di sana, praktik nepotisme tentu akan menegasikan status Indonesia sebagai sebuah negara demokrasi. Bagaimana tidak? Demokrasi seharusnya berjalan berdasarkan pemahaman bahwa kekuasaan berasal dari rakyat dan dibuat untuk memenuhi kepentingan rakyat (Novianti, 2013). Apabila kekuasaan berjalan atas kepentingan segelintir pihak karena latar belakang hubungan keluarga, hal ini tentu menyalahi dan mengancam prinsip-prinsip demokrasi itu sendiri. Hal serupa juga tampaknya disinggung halus pada 4 September 2024 kemarin oleh Paus Fransiskus, seorang pemimpin tertinggi umat Katolik, dalam kunjungannya ke Istana Negara. Beliau mengatakan, “ketegangan-ketegangan dengan unsur kekerasan timbul di dalam negara-negara karena mereka yang berkuasa ingin menyeragamkan segala sesuatu dengan memaksakan visi mereka bahkan dalam hal-hal yang seharusnya diserahkan kepada otonomi individu-individu atau kelompok-kelompok yang berkaitan. Terdapat juga kurangnya komitmen sejati yang berorientasi ke depan untuk menerapkan prinsip-prinsip keadilan sosial. Akibatnya, sebagian besar umat manusia terpinggirkan, tanpa sarana untuk menjalani hidup yang bermartabat dan tanpa perlindungan dari ketimpangan sosial yang serius dan bertumbuh, yang memicu konflik-konflik yang parah.” (BBC News Indonesia, 2024)

 

Lantas, apakah praktik nepotisme secara mutlak berakibat pada matinya demokrasi di suatu negara?

 

(data diambil dari V-Dem Institute, 2024)

 

Rangkaian Pilpres 2024 yang mempertontonkan praktik nepotisme menurunkan kepercayaan publik terhadap lembaga politik dan peradilan yang mengawasi kekuasaan eksekutif (Pepinsky, 2024). Laporan V-Dem Institute (2024) menunjukkan bahwa Indonesia sedang mendekati fase autokrasi yang ditunjukkan dengan indeks demokrasi yang menurun dari >0,5 pada 2014 menjadi <0,4 pada 2024. Situasi Indonesia saat ini selaras dengan tulisan Juliantara (1998) yang kala itu mengkritik masa orde baru, yakni overdosis kuantitas koalisi dalam pemerintahan berakibat pada penurunan kualitas check and balance pembuatan kebijakan. Meskipun tidak terbukti melanggar konstitusi, beragam tindakan yang didalangi Presiden Jokowi menyalahi konsep demokrasi yang dibawakan oleh Abraham Lincoln, yaitu “government of the people, by the people, and for the people.” 

 

Indonesia sebagai negara demokrasi adalah sebuah fakta yang pastinya diketahui oleh segenap rakyat Indonesia. Jika begitu, apa proses berpikir yang memungkinkan seseorang untuk secara sadar dapat tetap melakukan nepotisme?

 

Ilusi untuk Justifikasi

Tahukah kamu, individu diduga dapat mengembangkan perilaku bermasalah seperti nepotisme sebagai akibat dari cognitive dissonance? (Yahya & Sukmayadi, 2020). Menurut Festinger dalam Cooper (2019), cognitive dissonance didefinisikan sebagai ketidaknyamanan psikologis yang timbul ketika individu memiliki dua atau lebih kognisi yang bertentangan. Cognitive dissonance berkaitan dengan perasaan bersalah sehingga dibutuhkan pengelolaan tertentu untuk memulihkan rasa aman tanpa mengubah perilaku yang bertentangan (Gregory-Smith dkk., 2013 dalam Seyr dkk., 2023). Ketika individu menyadari akan adanya pertentangan keyakinan dalam dirinya, ia akan menggunakan segala cara untuk melakukan teknik yang tepat untuk “membenarkan” apa yang ia akan atau telah lakukan. Contohnya, seseorang yang melakukan korupsi dapat “membenarkan” perilakunya dengan alasan bahwa ia melakukannya untuk keluarganya. Seseorang yang melanggengkan nepotisme juga dapat ”membenarkan” perilakunya dengan alasan bahwa perbuatannya tidak salah karena secara hukum, ia tetap melalui lembaga negara dan tidak menghalangi penyelenggaraan pemilu.

 

Seperti yang dijelaskan sebelumnya, demokrasi menuntut transparansi, keadilan, dan kebijakan yang dibuat untuk kepentingan rakyat, bukan hanya untuk kepentingan segelintir individu atau bahkan suatu keluarga. Maraknya unggahan “Peringatan Darurat” yang sudah menjamah berbagai penjuru Indonesia menunjukkan bahwa saat ini, rakyat telah geram dan menolak segala bentuk nepotisme yang dapat mengancam integritas negara. Partisipasi aktif dari masyarakat menjadi kunci dalam memastikan bahwa nepotisme tidak menjadi norma dalam pemerintahan. Dalam rangka pencegahan dan perlawanan nepotisme, langkah pertama yang dapat dilakukan adalah dengan mengidentifikasi praktik-praktik nepotisme itu sendiri. Mulailah menyadari praktik-praktik menyimpang dalam politik Indonesia, seperti kekuasaan yang mungkin digunakan untuk menguntungkan kelompok tertentu dan segala bentuk kegiatan pencemaran prinsip-prinsip demokrasi lainnya. Para pemangku jabatan juga harus senantiasa mengingat prinsip Indonesia sebagai negara demokrasi dan tidak melanggengkan, apalagi melakukan tindakan-tindakan yang tidak sesuai. Harapannya, melalui segala upaya yang sudah dilakukan, Indonesia segera pulih dari masa krisis ini dan kembali menjadi negara demokrasi seutuhnya. 






Daftar Pustaka

 

Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa. (2024). Kamus Besar Bahasa Indonesia. Balai Pustaka.

Baland, J. M., Moene, K. O., & Robinson, J. A. (2010). Governance and development. In Handbook of development economics (Vol. 5, pp. 4597-4656). Elsevier.

BBC News Indonesia. (2024, September 3). Paus Fransiskus datang ke Indonesia – ‘Ketegangan timbul karena mereka yang berkuasa ingin memaksakan visi mereka’. BBC. https://www.bbc.com/indonesia/articles/crlrp1k8gp1o

Bellow, A. (2004). In praise of nepotism. Anchor. 

Burhan, O. K., Leeuwen, E. V., & Scheepers, D. (2020). On the hiring of kin in organizations: Perceived nepotism and its implications for fairness perceptions and the willingness to join an organization. Organizational Behavior and Human Decision Processes, 161, 34–48. https://doi.org/10.1016/j.obhdp.2020.03.012 

Cooper, J. (2019). Cognitive dissonance: Where we’ve been and where we’re going. International Review of Social Psychology, 32(1). https://doi.org/10.5334/irsp.277 

Juliantara, D. (1998). Meretas jalan demokrasi. Penerbit Kanisius.

Oswaldo, I. G. (2024, August 31). Jokowi di Depan Prabowo: Keberlanjutan Sangat Penting, Hilirisasi hingga IKN. detik.com. https://finance.detik.com/berita-ekonomi-bisnis/d-7518611/jokowi-di-depan-prabowo-keberlanjutan-sangat-penting-hilirisasi-hingga-ikn  

Pepinsky, T. B. (2024). Why Indonesia’s democracy is in danger. Journal of Democracy. https://www.journalofdemocracy.org/online-exclusive/why-indonesias-democracy-is-in-danger/

Pertiwi, V. & Widodo, S. (2021). Kinship Politics in Indonesia: Developments and Implications. Bestuurskunde: Journal of Governmental Studies, 1(2), 131–141. https://doi.org/10.53013/bestuurskunde.1.1.131-141 

Purwaningsih, T. (2015). Politik Kekerabatan dan Kualitas Kandidat di Sulawesi Selatan. Jurnal Politik, 1(1). https://doi.org/10.7454/jp.v1i1.1101 

Seyr, S., Gächter, I., Mohr, S., Georgi, D., & Lu, G. (2023). What’s your excuse? Cognitive dissonance and justifications for non-sustainable behaviour. Proceedings of the European Marketing Academy.

Tan, K. (2008). Meritocracy and elitism in a global city: ideological shifts in singapore. International Political Science Review, 29(1), 7-27. https://doi.org/10.1177/0192512107083445 

Undang-undang (UU) Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. 1999. Undang-undang (UU). Jakarta. 

V-Dem Institute. (2024). Democracy report 2024: Democracy winning and losing at the ballot. University of Gothenburg.

Yahya, A. H., & Sukmayadi, V. (2020). A review of cognitive dissonance theory and its relevance to current social issues. MIMBAR, 36(2), 480–488. https://doi.org/10.29313/mimbar.v36i2.6652 



 

Categories: Artikel

0 Comments

Leave a Reply

Avatar placeholder

Your email address will not be published.