Coba kamu bayangkan bahwa saat ini, terdapat dua orang yang menjadi korban dari tindak kriminal yang merugikan secara fisik maupun psikologis. Namun, hanya salah satu dari mereka yang mendapatkan simpati, sorotan, serta dukungan dari masyarakat, sedangkan yang lain justru diragukan dan disalahkan atas kejadian nahas yang menimpanya. Fenomena ini bukanlah sesuatu yang baru terjadi, terutama dalam konteks kekerasan seksual. Banyak dari korban kekerasan seksual yang kesaksiannya justru dipertanyakan hanya karena ia tidak memenuhi standar masyarakat terkait “korban yang sesungguhnya”. Cara berpakaian, relasi dengan pelaku, bahkan reaksi emosional yang ditampilkan kerap dijadikan sebagai dasar untuk menilai “kelayakan” seseorang untuk dianggap sebagai korban. Fenomena inilah yang kemudian diangkat oleh seorang sosiolog bernama Nils Christie menjadi sebuah konsep, yaitu The Ideal Victim. Christie (1986) mengkritisi bahwa masyarakat cenderung memiliki pandangan tertentu mengenai karakteristik korban ideal yang lebih layak untuk dipercaya. Christie (dikutip dari Islam, 2016) juga menyatakan gagasan bahwa terdapat enam atribut yang seringkali digunakan sebagai acuan untuk mendefinisikan korban yang ideal. Keenam atribut itu adalah; (1) korban merupakan seseorang yang lemah secara fisik. Korban yang “ideal” juga seringkali diidentifikasi sebagai seorang perempuan, sedang sakit, berusia sangat tua atau sangat muda; (2) korban setidaknya sedang melakukan kegiatan yang tidak mencurigakan; (3) korban tidak bersalah atau tidak dapat disalahkan atas apa yang terjadi; (4) korban tidak mengenal atau tidak memiliki hubungan apapun dengan pelaku; (5) pelaku memiliki ciri fisik yang besar dan jahat; dan (6) korban memiliki kombinasi kekuatan, pengaruh, dan simpati yang tepat untuk memperoleh statusnya sebagai korban tanpa mengancam siapapun. 

Konsep ideal victim kemudian memunculkan berbagai masalah, seperti ekspektasi masyarakat terhadap korban yang menjadi makin tidak masuk akal. Salah satu masalah utama yang timbul adalah munculnya standar yang saling berkontradiksi. Di satu sisi, masyarakat mengharapkan korban untuk terlihat lemah dan tidak berdaya. Namun, di sisi lain, korban juga diharapkan untuk menunjukkan perlawanan (Siegel dkk., 1989). Perlawanan tersebut dapat dilakukan dengan mengeluarkan suara yang keras atau menunjukkan respons yang “sesuai” agar hal yang dialaminya dapat dipercaya. Kontradiksi dari standar seperti ini membuat konsep ideal victim menjadi problematik karena dapat menimbulkan tekanan bagi korban yang merasa tidak memenuhi kriteria tersebut. Hal ini juga dapat membuat mereka diragukan atau bahkan disalahkan atas pengalaman yang dialami.

Anggapan bahwa tidak adanya perlawanan aktif dari korban sebagai  wujud persetujuan terhadap tindakan kekerasan seksual yang dialami merupakan suatu bentuk kekeliruan dalam berpikir. Pada kenyataannya, beberapa penelitian mendukung penjelasan bahwa ketidakmunculan respons aktif dari individu selama peristiwa kekerasan seksual justru merupakan suatu hal yang umum terjadi (Möller dkk., 2017). Fenomena ini disebut sebagai tonic immobility, yaitu kondisi saat individu tidak dapat bergerak secara temporer sebagai reaksi terhadap situasi yang memicu ketakutan yang sangat intens, terutama ketika individu kurang memiliki peluang untuk melawan atau melarikan diri (Marx dkk., 2008; Volchan dkk., 2011). Tonic immobility menjadi salah satu respons naluriah dari fenomena kekerasan seksual yang dialami sebagian besar korban pelecehan dan peristiwa traumatis lainnya. Hal ini juga sering dianggap sebagai mekanisme perlindungan diri secara tidak sadar yang terakhir oleh pihak korban ketika mereka diserang. Bahkan, penelitian oleh Moller dkk. (2017) terhadap 298 perempuan menemukan bahwa enam bulan setelah peristiwa kekerasan seksual, perempuan yang mengalami tonic immobility dua kali lebih rentan terhadap Post-traumatic stress disorder (PTSD) dibandingkan wanita yang tidak mengalaminya. Temuan ini tentunya mengkhawatirkan dan berdampak pada perawatan dan pemulihan korban.

Pemahaman yang tepat mengenai dampak tonic immobility bagi korban penting bagi legitimasi hukum dan proses rehabilitasi korban kekerasan seksual. Meskipun penelitian telah menunjukkan respons tonic immobility sebagai hal yang umum terjadi pada banyak korban kekerasan seksual, sistem hukum yang ada masih jarang mengakui hal tersebut (Schiewe, 2019). Banyak aparat hukum masih mengharapkan perlawanan verbal atau fisik dari korban sebagai  bukti penolakan. Hal ini menyebabkan tonic immobility seringkali diabaikan sebagai bentuk perlindungan diri dan bukti ketidaksetujuan korban. Akibatnya, respons diam tersebut kerap dianggap sebagai tanda setuju yang berujung pada victim-blaming. Misalnya, ketika korban menceritakan pengalamannya kepada teman, keluarga, atau pihak berwenang, pertanyaan seperti, “Apa yang kamu lakukan saat itu?” sering ditanyakan dan hal ini secara tidak langsung memberikan sentimen victim-blaming. Padahal, ketidakmampuan korban untuk bergerak merupakan respons otomatis atas situasi yang dirasa mengancam, bukan bentuk persetujuan. Justru, hal ini dapat menjadi bukti kuat bahwa korban tidak setuju dengan tindakan kekerasan seksual itu sendiri. 

Salah satu bentuk respons terhadap trauma yang seringkali tidak dikenali adalah upaya tubuh dan pikiran untuk menghindari rasa sakit secara emosional. Ketika mengalami trauma, otak secara otomatis masuk ke mode siaga untuk melindungi diri dari bahaya. Setelah merasa aman, otak kemudian menyimpan memori traumatis tersebut seperti alarm yang bisa aktif lagi jika terjadi kejadian yang serupa. Dalam beberapa kasus, trauma ini dapat termanifestasikan dalam bentuk perilaku hiperseksual. Hiperseksualitas merujuk pada  dorongan seksual yang sangat tinggi dan sulit untuk dikendalikan. Menurut Weaver (2009), sebagian perempuan yang pernah mengalami kekerasan seksual mungkin menunjukkan perilaku seksual yang berisiko, seperti berhubungan tanpa pengaman atau dapat menjadi sangat aktif secara seksual. Pada beberapa korban kekerasan seksual, hiperseksualitas menjadi coping mechanism untuk mengelola luka emosional akibat trauma yang belum sembuh. Akibatnya,  korban secara tidak sadar dapat mengadopsi perilaku pelaku dengan mengembangkan mekanisme pertahanan psikologis yang disebut identification with the aggressor sebagai cara untuk mengatasi perasaan ketidakberdayaan. 

Dilansir dari laman Suara.co, mengenai kasus penganiayaan terhadap David Ozora oleh Mario Dandy, AG (kekasih Mario Dandy) mengaku telah berhubungan seksual dengan Mario sebanyak lima kali dalam satu bulan. Pengakuan ini muncul setelah AG mengeklaim telah diperkosa oleh David Ozora. Hakim kemudian menganggap klaim AG terkait pemerkosaan yang dialami sebagai klaim palsu karena masih melakukan hubungan seksual dengan Mario Dandy. Terlepas dari persoalan benar atau tidaknya klaim yang diberikan AG, mendiskreditkan laporan kekerasan seksual karena aktivitas seksual pelapornya merupakan suatu tindakan tak berdasar yang kontraproduktif dengan perlindungan korban kekerasan seksual. Fenomena  tersebut dapat dijelaskan melalui keterikatan emosional yang terbentuk antara korban dan pelaku kekerasan seksual, ditujukan dengan para korban tidak melihat pelaku sebagai ancaman. Korban tidak hanya merasa tergantung pada pelaku secara fisik, tetapi juga secara emosional. Respons ini menjadi bentuk ketidakberdayaan karena korban merasa pelaku merupakan satu-satunya sumber perlindungan dan kebutuhan emosional lainnya.  Di satu sisi, adanya ketidaksesuaian perilaku korban dengan perilaku stereotipikal, menjadikan statusnya sebagai korban menjadi diragukan dengan anggapan bahwa korban tidak terganggu atau justru menikmati kekerasan yang dialami. Akibat dari reviktimisasi ini adalah korban dihakimi tidak dipercaya,  bahkan dianggap sebagai pemicu kekerasan seksual tersebut terjadi.

Konsep ideal victim pada kasus kekerasan seksual dapat menyebabkan munculnya victim blaming di tengah masyarakat. Burt (dikutip dari Maharani, 2024) menyatakan bahwa victim blaming atau menyalahkan korban bermula dari mitos pemerkosaan, kepercayaan yang salah tentang pemerkosa, korban, dan kekerasan itu sendiri. Alih-alih memberikan dukungan dan perlindungan, korban pelecehan seksual sering disalahkan dengan pertanyaan-pertanyaan, seperti “mengapa kamu berpakaian seperti itu?” atau “mengapa kamu berada di situ sendiri?”. Bahkan, tidak mempercayai korban dan menganggapnya berbohong atas kekerasan yang ditimpanya juga merupakan contoh dari victim blaming. 

Perayaan denim day menjadi contoh dari dampak victim blaming. Dilansir dari situs denimday.org. Kejadian tersebut berawal dari seorang remaja perempuan yang dilecehkan oleh pelatih pengemudinya pada tahun 1992 di Italia. Kemudian, pelaku tersebut mendapatkan hukuman penjara selama tujuh tahun, tetapi ia mengajukan banding dengan mengatakan bahwa saat itu korban mengenakan celana jeans yang ketat. Hal tersebut membuat keputusan hakim berubah. Menurut hakim, celana yang dikenakan menjadi tanda bahwa hubungan seksual yang terjadi bersifat konsensual mengatakan bahwa saat itu korban mengenakan celana jeans yang ketat. Celana tersebut dianggap sebagai penanda bahwa hubungan seksual yang terjadi bersifat konsensual karena celana yang ketat dianggap hanya bisa dilepas dengan bantuan orang yang mengenakannya. Setelah putusan hakim ditetapkan, para perempuan di Parlemen Italia menjadi marah dan berkumpul di tangga Mahkamah Agung dengan mengenakan celana jeans sebagai tanda protes akan sikap yang salah tentang kekerasan seksual. Aksi protes yang dilakukan mencerminkan solidaritas para perempuan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya mengedepankan perspektif korban dalam menindaklanjuti kasus kekerasan seksual. Dari kejadian ini, masyarakat akhirnya menjadikan tanggal 30 April sebagai denim day untuk memperingati kasus tersebut.

Kasus denim day menjadi cerminan nyata dari implikasi budaya victim blaming dalam kasus kekerasan seksual. Menjalarnya budaya victim blaming ini akan memperburuk kondisi korban. Mereka akan merasa dihakimi dan tidak dipercaya oleh masyarakat sehingga memilih untuk bungkam. Hal ini menyebabkan korban mengalami trauma, kesepian, dan kesulitan akibat respons yang tidak sesuai dengan harapan (Nurbayani & Wahyuni, 2023). 

Tidak termasuknya laki-laki dalam enam atribut yang digunakan untuk mendefinisikan korban yang ideal (Christie, dikutip dari Islam, 2016) menunjukkan bahwa status laki-laki sebagai korban rentan dipertanyakan. Hal tersebut sesuai dengan studi oleh Walker dkk., (2005) yang menemukan bahwa ketika laki-laki melaporkan dirinya sebagai korban kekerasan seksual, mereka seringkali tidak dipercaya dan justru disalahkan. Reaksi yang sama nyatanya juga diterima ketika laki-laki mengungkapkan pengalamannya sebagai korban kekerasan seksual kepada teman dan keluarga. Penemuan yang serupa juga ditemukan melalui penelitian oleh Donnelly dan Kenyon (1996), yang mewawancarai 30 layanan korban kekerasan seksual. “Untuk apa Anda meneliti hal seperti itu? Laki-laki tidak mungkin diperkosa”, “kita jarang menemui korban laki-laki, bisa jadi karena sedikit dari mereka yang diperkosa”, “umumnya, laki-laki disodomi karena mereka ingin disodomi …” merupakan beberapa dari respons yang diperoleh selama berlangsungnya wawancara. Sikap orang-orang yang ragu akan status laki-laki sebagai korban kekerasan seksual terjadi karena laki-laki, dalam belenggu patriarki, ditempatkan sebagai individu dengan karakter dominan dan agresif secara seksual sebagai simbol kejantanan. Hadirnya pandangan “boys don’t cry” juga menuntut laki-laki untuk selalu kuat dan tahan banting ketika dihadapkan pada berbagai situasi. Konstruksi ini lantas menimbulkan sebuah narasi bahwa dalam kasus kekerasan seksual, laki-laki seharusnya memiliki keberanian untuk melawan dan tidak hanya tinggal diam. Apabila mereka tidak berperilaku demikian, maka keberadaannya sebagai korban justru hanya akan direduksi sebagai laki-laki yang “lemah”. Padahal, reaksi korban dalam kekerasan seksual tidak bisa dipukul sama rata, terlepas dari apa pun jenis kelaminnya. 

Fenomena underreporting atau tidak terlaporkannya suatu kasus merupakan salah satu dampak serius dari konsep ideal victim. Ketika seseorang merasa bahwa pengalamannya tidak akan dianggap valid karena tidak sesuai dengan ekspektasi sosial, seperti korban yang tidak menangis, tidak melawan, atau memiliki latar belakang tertentu, kemungkinan mereka untuk melaporkan kejadian tersebut menjadi jauh lebih kecil. Hal ini diperparah oleh ketakutan akan stigma, keraguan terhadap respons institusi hukum, serta minimnya sistem pendampingan yang berpihak pada korban.

Fenomena underreporting dapat diibaratkan seperti gunung es, yang hanya sebagian kecil dari kasus terlihat di permukaan, sementara kasus yang tidak terungkap jumlahnya jauh lebih besar. Keberanian korban untuk menceritakan dan  melaporkan pengalamannya merupakan kunci utama terbukanya kasus kekerasan seksual. Namun kenyataannya, banyak korban yang tidak hanya takut melapor, tetapi juga tidak tahu harus berbuat apa atau ke mana harus melapor. Sebagian besar mahasiswa belum mengetahui keberadaaan lembaga pengaduan kekerasan seksual, dan tingkat pengetahuan mereka terhadap mekanisme pelaporan pun masih tergolong rendah (Khafsoh dkk., 2021). Ketidaktahuan ini memperbesar bagian gunung es yang tersembunyi dan membuat kekerasan seksual menjadi makin sulit terungkap dan ditangani dengan adil.

Adanya pandangan ideal victim sangat berbahaya karena tidak hanya menyulitkan korban dalam mendapatkan keadilan, tetapi juga berpotensi melanggengkan rape culture. Ketika masalah seperti victim blaming tidak dianggap serius, kekerasan seksual secara tidak langsung dinormalisasikan oleh masyarakat. Hal ini yang disebut sebagai rape culture, yaitu suatu budaya masyarakat yang menganggap kekerasan seksual sebagai hal yang wajar (Nurbayani & Wahyuni, 2023). Rape culture bisa digambarkan dalam bentuk piramida yang dikenalkan oleh organisasi 11th Principal Consent. Dalam piramida rape culture, ada tiga tingkat utama, yaitu Normalization, Degradation, dan Assault. Ketika perilaku-perilaku di tingkat piramida bagian bawah, seperti komentar bernada seksual, rape jokes, dan perilaku seksis dinormalisasi oleh masyarakat, hal ini dapat menciptakan ruang untuk tingkat selanjutnya, yakni Degradation dan Assault, untuk terjadi.

Maka dari itu, perlawanan kekerasan seksual harus dimulai dari perubahan mendasar yang melekat pada budaya masyarakat itu sendiri. Misalnya, dengan tidak menormalisasi perilaku yang tampaknya sederhana, seperti menyalahkan korban kekerasan seksual atau hanya mendukung korban yang memenuhi stereotip tertentu. Kita harus sadar bahwa tidak ada satu pun bentuk atau reaksi “ideal” korban kekerasan seksual. Tidak ada yang namanya ideal victim karena pada kenyataannya, kekerasan seksual dapat terjadi kepada siapa saja, tanpa memandang penampilan atau perilaku mereka. 

Daftar Pustaka

Christie, N. (1986). The ideal victim. In From crime policy to victim policy: Reorienting the justice system (pp. 17-30). London: Palgrave Macmillan UK.

Donelly, D. A., & Kenyon, S. (1996). “Honey, We Don’t Do Men.”  Journal of Interpersonal Violence., Vol. 11 No. 3. 

Delboy, S. (2023, November 25). Identification with the aggressor: Becoming someone else after trauma. Fermata Psychotherapy. https://www.fermatapsychotherapy.com/blog/2023/11/25/identification-with-the-aggressor-becoming-someone-else-after-trauma

Integrative Life Center. (2024, Maret 19). Hypersexuality and trauma: Are they connected? https://integrativelifecenter.com/intimacy-disorders/hypersexuality-and-trauma/

Islam, S. (2016). “IDEAL VICTIMS” OF SEXUALIZED VIOLENCE: WHY IS IT ALWAYS FEMALE? European Journal of Research in Social Sciences, 4(8). www.idpublications.org

Maharani, N. P. (2024, Desember). Analysis of Victim Blaming Culture in Indonesia Asian Journal of Engineering Social and Health, 3(12), 2798-2812. https://doi.org/10.46799/ajesh.v3i12.468

Marx, B. P., Forsyth, J. P., Gallup, G. G., & Fusé, T. (2008). Tonic immobility as an evolved predator defense: Implications for sexual assault survivors. Clinical Psychology: Science and Practice, 15(1), 74. https://doi.org/10.1111/j.1468- 2850.2008.00112.x 

Möller, A., Söndergaard, H. P., & Helström, L. (2017). Tonic immobility during sexual assault–a common reaction predicting post‐traumatic stress disorder and severe depression. Acta obstetricia et gynecologica Scandinavica, 96(8), 932-938.

Nurbayani, S., & Wahyuni, S. (2023). Victim Blaming in Rape Culture (Narasi Pemakluman Kekerasan Seksual di Lingkungan Kampus). In Zenodo (CERN European Organization for Nuclear Research). https://doi.org/10.5281/zenodo.7940158

Rape Culture Pyramid – 11th Principle: consent! (2024, Maret 4). 11th Principle: Consent! https://www.11thprincipleconsent.org/consent-propaganda/rape-culture-pyramid/ 

Schiewe, M. (2019). Tonic immobility: The fear-freeze response as a forgotten factor in sexual assault laws. DePaul Journal of Women Gender & Law, 8(1), 1–28. https://heinonline.org/ HOL/Page?handle=hein.journals/dpjwglaw8&id=41&d iv=&collection=

Siegel, J. M., Sorenson, S. B., Golding, J. M., Burnam, M. A., & Stein, J. A. (1989). Resistance to sexual assault: who resists and what happens? American Journal of Public Health, 79(1), 27–31. https://doi.org/10.2105/AJPH.79.1.27

Volchan, E., Souza, G. G., Franklin, C. M., Norte, C. E., RochaRego, V., Oliveira, J. M., David, I. A., Mendlowicz, M. V., Coutinho, E. S. F., & Fiszman, A. (2011). Is there tonic immobility in humans? Biological evidence from victims of traumatic stress. Biological Psychology, 88(1), 13–19. https://doi. org/10.1016/j.biopsycho.2011.06.002 

Why Denim? — Denim Day. (n.d.). Denim Day. Diambil pada 16 Mei, 2025, dari https://denimday.org/why-denim/ 

Walker, J., Archer, J. Davies, M. (2005). Effects of male rape on psychological functioning. British Journal of Clinical Psychology

Categories: Artikel

0 Comments

Leave a Reply

Avatar placeholder

Your email address will not be published.