Breadcrumbing vs Illusion of Love: Kenapa Kita Bertahan di Hubungan yang Setengah-Setengah

Oleh Nafisyah Kisma Kamila

Teman-teman pasti sering menemui fenomena  “begging for the bare minimum”. Beberapa kali, kita menemukan fenomena seseorang menunggu, berharap, dan memaklumi pasangannya. Sebuah pola yang kita sendiri sering pertanyakan, “Mengapa ia tetap bertahan, padahal yang ia terima hanyalah sedikit dari apa yang ia berikan dalam hubungan?”. Dalam fenomena ini seseorang secara sadar memilih untuk bertahan. Secara psikologis, ia sedang terjebak dalam kondisi yang disebut sebagai breadcrumbing.

Dalam psikologi, breadcrumbing adalah salah satu bentuk manipulasi perasaan. Seseorang yang melakukan ini akan memberi perhatian atau kasih sayang secara tidak konsisten. Hal ini membuat korban merasa bingung namun tetap berharap, karena merasa hubungan itu masih bisa diperbaiki. Pola ini mirip pada percobaan B.F. Skinner yang menunjukkan apabila hadiah diberikan secara acak, makhluk hidup bisa bertahan lebih lama karena terus berharap akan mendapatkan hadiah lagi.

Yang menarik adalah seseorang sebenarnya tahu bahwa hubungan yang sehat seharusnya dibangun dari kehadiran yang konsisten dan kasih sayang yang tulus. Seperti yang dijelaskan oleh Carl Rogers dalam teorinya tentang konsep unconditional positive regard (1961). Akan tetapi, mengetahui saja tidaklah cukup. Ia terikat bukan hanya oleh harapan, tetapi juga oleh mekanisme pertahanan diri yang dibentuk sejak lama.  

Orang-orang seperti ini sering kali tumbuh dalam pengalaman relasi yang mengajarkan bahwa kasih sayang harus diperjuangkan. Akibatnya, dalam hubungan dewasa, mereka menoleransi minimnya perhatian dan menganggapnya sebagai sesuatu yang wajar atau bahkan istimewa. Ini selaras dengan teori early maladaptive schemas dari Jeffrey Young, yang menjelaskan bagaimana skema masa kecil yang disfungsional dapat memengaruhi pola pikir dan relasi seseorang saat dewasa (Young et al., 2003).

Begging for the bare minimum adalah sinyal bahaya. Ia adalah hasil dari distorsi harga diri, harapan yang tidak realistis, dan ketakutan untuk kehilangan. Ia juga berakar pada trauma relasional, di mana seseorang mengasosiasikan cinta dengan penderitaan, dan kesetiaan dengan pengorbanan. Seringkali individu memilih tetap tinggal karena ia belum siap menghadapi alternatif: kesepian, kehilangan, atau rasa bersalah karena ‘menyerah’.

Namun yang sering tidak disadari adalah: pergi juga bisa menjadi bentuk bertahan, bukan terhadap hubungan, tapi terhadap harga diri. Melepaskan bukan berarti berhenti mencintai orang lain, melainkan mulai mencintai diri sendiri dengan lebih jujur.

Untuk bisa keluar dari breadcrumbing, hal pertama yang harus dilakukan adalah menyadari bahwa hubungan seperti itu tidak sehat. Kita harus berani mengakui bahwa perhatian kecil yang diberikan sesekali bukanlah tanda cinta yang tulus, melainkan cara agar kita tetap bertahan. Setelah itu, penting untuk mulai memasang batas, berani berkata bahwa kita butuh kejelasan dan tidak mau terus digantung. Kadang, kita juga harus berhenti membalas pesan atau menjauhinya, supaya hati punya ruang untuk pulih. Selain itu, bercerita kepada orang yang dipercaya atau meminta bantuan dari ahli juga bisa membantu kita melihat situasi menjadi lebih jelas. Kita harus pelan-pelan belajar bahwa kita pantas mendapatkan kasih sayang yang utuh, bukan hanya perhatian kecil yang diberikan ketika dia sempat.

 

Referensi:

  • Navarro, O., Larrañaga, E., & Yela, C. (2020). Breadcrumbing in Modern Dating: A New Communication Tactic with Psychological Implications. Journal of Social and Personal Relationships, 37(9), 2336–2356.
  • Rogers, C. R. (1961). On Becoming a Person: A Therapist’s View of Psychotherapy. Houghton Mifflin.
  • Skinner, B. F. (1953). Science and Human Behavior. Macmillan.
  • Young, J. E., Klosko, J. S., & Weishaar, M. E. (2003). Schema Therapy: A Practitioner’s Guide. Guilford Press.

Leave A Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*