oleh Khansa Humaira Dyfka
“Kasus dugaan korupsi dana PIP yang menimbulkan kerugian pelajar di hampir 300 sekolah di Tasikmalaya.”
“KPK ungkap kerugian negara sebesar 1,2 triliun akibat korupsi dana operasional Gubernur Papua.”
“Penerima beasiswa negara kerap kali salah sasaran.”
Apakah kalian familiar dengan headline-headline berita di atas? Apa yang kalian rasakan saat membacanya? Apakah timbul rasa miris, marah, atau justru bertanya-tanya, mengapa ada yang tega mengambil hak orang lain di saat kita sebagai masyarakat sama-sama berusaha membangun kemakmuran melalui pendapatan negara?
Contoh-contoh di atas hanyalah sebagian kecil dari berita penyalahgunaan dana negara dalam beberapa tahun terakhir. Berita-berita seperti itu berseliweran di media sosial, yang kini menjadi saluran utama masyarakat untuk mengikuti perkembangan peristiwa. Arus informasi yang ramai diperbincangkan di media sosial mampu membentuk persepsi masyarakat terhadap pihak yang terlibat, termasuk terhadap penerimaan dan pengelolaan pendapatan negara.
Dari sudut pandang psikologi, opini publik dapat terbentuk melalui beberapa mekanisme, di antaranya yang paling familiar adalah framing effect, confirmation bias, dan emotional contagion. Framing effect terjadi ketika headline berita dan dokumentasi yang ditampilkan dikemas secara emosional sehingga membentuk interpretasi awal publik. Misalnya, kasus korupsi dana PIP di Tasikmalaya pada tahun 2022 yang memunculkan pertanyaan: “Bagaimana nasib anak-anak yang bergantung pada dana PIP ini?” hingga komentar seperti, “Mengapa orang-orang tega mengambil hak anak-anak bangsa yang hanya ingin belajar?”
Teori confirmation bias memperkuat efek ini, karena masyarakat cenderung memercayai berita yang sesuai dengan pandangan mereka sebelumnya. Orang yang sudah meyakini bahwa pajak tidak dikelola dengan baik akan lebih cepat memercayai berita negatif tersebut. Selanjutnya, arus informasi di media sosial kemudian turut memengaruhi persepsi publik melalui teori trust dan fairness.
Teori trust menjelaskan bahwa kepatuhan masyarakat terhadap aturan dan kebijakan pemerintah sangat bergantung pada tingkat kepercayaan masyarakat terhadap otoritas yang mengelola dana negara. Sebagai wajib pajak, tentunya kita berharap bahwa pajak yang kita setorkan kepada petugas akan dikelola sebaik mungkin untuk kemaslahatan masyarakat. Ketika pengelolaan dilakukan secara transparan dan tepat sasaran, kepercayaan masyarakat akan meningkat, begitu pula dengan kepatuhan membayar pajak. Sebaliknya, maraknya berita penyalahgunaan dana negara, meskipun itu hanya melibatkan sebagian kecil pihak, kepercayaan publik akan menurun secara signifikan, yang berimbas pada penerimaan negara di masa depan.
Sementara itu, teori fairness menyoroti pentingnya persepsi keadilan dalam pemanfaatan dana negara. Jika masyarakat merasa bahwa pajak yang mereka bayarkan digunakan secara adil untuk kepentingan bersama, mereka cenderung patuh dalam melaksanakan kewajiban. Namun, ketika media sosial ramai membahas kasus penyaluran beasiswa yang salah sasaran atau anggaran yang dinilai tidak teralurkan dengan baik untuk pembangunan fasilitas publik, rasa keadilan ini terganggu dan justru menimbulkan pertanyaan: Ke mana dana pajak yang katanya akan berbalik dari rakyat ke rakyat?
Berita-berita tersebut akan memicu amarah dan kekecewaan masyarakat, sebagaimana yang dijelaskan dalam teori emotional contagion. Emosi yang tersalurkan melalui pemberitaan dapat memicu diskusi intens di media sosial, menghasilkan respons yang bermuara pada dua hal: Kepercayaan publik yang kian goyah dan meningkatnya keengganan membayar pajak.
Pajak adalah sumber terbesar pembiayaan APBN. Namun semakin ke sini, saya kerap mendengar keluhan hingga upaya menghindari kewajiban pajak dari orang-orang di sekitar. Banyak yang menilai bahwa ketidakpatuhan ini semata egoisme atau hasutan oknum tertentu. Menurut saya, fenomena ini justru mencerminkan pudarnya kepercayaan publik terhadap sistem pengalokasian pendapatan negara, yang salah satunya dipengaruhi derasnya arus pemberitaan di media sosial. Jika dibiarkan, hal ini akan menimbulkan efek domino: Penerimaan negara menurun dan program-program penting yang membutuhkan pembiayaan dari APBN terhambat.
Lalu, apa yang bisa kita lakukan untuk mengatasi fenomena ini? Memaksa media berhenti memberitakan kasus penyalahgunaan dana bukanlah solusi, begitu pula sekadar mengedukasi masyarakat untuk patuh membayar pajak tanpa bukti nyata. Confirmation bias membuat mereka yang sudah kehilangan kepercayaan sulit diyakinkan, kecuali pemerintah menunjukkan bahwa pajak benar-benar dimanfaatkan untuk kemaslahatan bersama.
Masyarakat memahami bahwa pajak seharusnya digunakan untuk membiayai fasilitas-fasilitas publik, seperti pembangunan infrastruktur, pelayanan kesehatan, dan pendanaan beasiswa bagi anak-anak dari keluarga kurang mampu. Yang mereka tuntut adalah transparansi dan bukti. Bukti tersebut bisa berupa laporan penyaluran beasiswa seperti KIP-K dan beasiswa Garuda yang tepat sasaran atau portal daring yang menampilkan laporan penggunaan pendapatan negara secara real-time.
Meski terdengar rumit, langkah ini penting untuk membangun kembali kepercayaan masyarakat. Pemerintah perlu menerapkan konsep behavioural economics framing, yaitu pengemasan pesan dengan cara yang membangkitkan emosi positif, rasa bertanggung jawab, dan kepercayaan pada masyarakat. Bukan hanya berkata bahwa “Pajak itu wajib”, tapi juga memberi bukti nyata yang akan dikonsumsi masyarakat melalui pemberitaan media sosial, seperti pembiayaan sekolah gratis atau pembangunan jalan baru di daerah pelosok.
Saya percaya bahwa kepercayaan dan kesadaran akan perlunya peningkatan penerimaan negara bukan hanya merupakan tanggung jawab masyarakat, tapi juga pemerintah. Dengan meningkatnya kebutuhan negara, penerimaan pendapatan juga perlu ditingkatkan. Di sinilah sinergi antara masyarakat dan pemerintah menjadi kunci untuk mencapai target-target negara di masa depan.
Referensi
- Direktorat Jenderal Pajak. (2017). Rekayasa kepatuhan pajak melalui media sosial. Pajak.go.id.
- Investopedia. (2022). Framing effect: What it is and examples.
- Santoso, A., & Sari, D. K. (2021). Penularan emosional (emotional contagion): Kajian literatur dan rekomendasi. Jurnal Bimbingan dan Konseling Islam, 11(2), 278–298.
- Siregar, M. I., & Nasution, H. D. (2024). Strategi komunikasi Direktorat Jenderal Pajak dalam meningkatkan kepatuhan wajib pajak melalui media sosial Instagram @Ditjenpajakri. Jurnal Ilmu Komunikasi, 12(1), 45–56.
- Universitas Gadjah Mada. (2024, 2 Februari). Fenomena perpajakan di Indonesia: Sentimen terhadap pajak positif tapi kepatuhan membayar pajak rendah.