Menyoal Kebijakan Gizi yang Tak Menenangkan Hati: Potret Psikologis di Balik MBG

Sejak diluncurkan secara serentak pada 6 Januari 2025 di 26 provinsi, pelaksanaan program Makan Bergizi Gratis (MBG) tidak sepenuhnya berjalan mulus. Kasus keracunan kerap muncul semenjak program ini direalisasikan. Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) mencatat 17 kejadian luar biasa (KLB) keracunan pangan terkait MBG di sepuluh provinsi pada pertengahan Mei 2025. Dilansir dari binokular.net, BPOM mengasumsikan bahwa salah satu hal yang menjadi penyebab keracunan pangan adalah terdapat kontaminasi bahan pangan mentah sebelum diolah menjadi makanan. Untuk itu, BPOM menyampaikan perlu adanya pengawasan secara langsung pada pelaksanaan  MBG agar sasaran program yang menerima tidak berdampak pada  masalah kesehatan. 

Dilansir dari Detik.com, Jasra Putra selaku Wakil Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mengungkapkan bahwa peristiwa keracunan akibat MBG terus meningkat alih-alih menurun. Bagi KPAI, walau hanya berdampak pada satu anak saja, permasalahan keracunan dalam program ini tetaplah menjadi isu yang serius. KPAI juga menyarankan agar pembagian MBG untuk sementara waktu dihentikan demi mencegah angka peningkatan keracunan. Dalam hal ini, pemerintah dirasa perlu untuk melakukan evaluasi secara menyeluruh pada keberlangsungan program MBG. Dilansir dari Tempo.co, Fian Indonesia, organisasi yang memperjuangkan Hak Atas Pangan dan Gizi (HaPG), menilai bahwa Peraturan Presiden mengenai MBG bukanlah jawaban atas berbagai  masalah yang selama ini menjadi tujuan utama, yaitu mengurangi stunting.

Lebih lanjut, maraknya kasus keracunan MBG juga dapat memengaruhi anak-anak secara psikologis. Ketua KPAI, Margaret Aliyatul Maimunah, mengatakan bahwa kasus keracunan dapat membuat anak-anak merasa ketakutan serta menolak menyantap makanan dari program tersebut (Shakti, 2025). Laporan serupa juga dibenarkan oleh Ketua Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI) yang sekaligus adalah psikolog anak, Seto Mulyadi, melalui Media Indonesia. Ia menilai bahwa kasus keracunan yang banyak terjadi dinilai dapat membuat siswa merasa frustrasi. Sependapat dengan hal tersebut, Kamal (2025) menyatakan saat anak-anak mulai meragukan kualitas makanan yang diterima, mereka dapat kehilangan sense of safety dalam lingkungan sekolah. Dampak buruk ini juga tak lepas dirasakan oleh orang tua. Kamal menuturkan bahwa masifnya keracunan MBG juga dapat menimbulkan parental anxiety

Dampak psikologis dari kasus keracunan juga dapat terwujud dalam bentuk gejala fisik. Pada beberapa kasus keracunan MBG yang terjadi di Kota Yogyakarta, Dinas Kesehatan Kota Yogyakarta tidak hanya menemukan gejala umum yang biasanya muncul pada kasus keracunan makanan, seperti mual, muntah, dan diare, tetapi juga menemukan gejala lain, seperti sesak napas dan kejang yang dianggap tidak lazim pada kasus keracunan makanan pada umumnya. Menurut dr. Raden Ludhang, ahli mikrobiologi FK-KMK UGM melalui artikel DInas Kesehatan Kota Yogyakarta, gejala-gejala tersebut didasari oleh alasan psikologis seperti panic attack yang terjadi akibat kekhawatiran dan ketakutan setelah melihat orang lain mengalami keracunan.

Berbeda dengan pandangan lembaga formal seperti KPAI atau LPAI yang menyoroti dampak MBG dari sisi regulasi dan perlindungan anak, suara orang tua mencerminkan bentuk keresahan yang lebih mendalam dan emosional. Salah satu suara para orang tua termanifestasi pada pembentukan komunitas ibu berisik, yaitu sebuah kelompok solidaritas perempuan yang mendukung peran ibu dalam gerakan sosial. Berdasarkan hasil wawancara dengan relawan komunitas tersebut, banyak orang tua merasa kehilangan rasa aman akibat pelaksanaan program MBG yang dinilai tidak transparan dan minim pelibatan publik. Program yang sentralistik dan minim ruang dialog menunjukkan bahwa orang tua tidak cukup dilibatkan dalam keputusan yang menyangkut kesehatan anak mereka. Rasa tidak aman ini makin diperparah oleh maraknya kasus keracunan di sejumlah sekolah yang membuat orang tua sulit percaya pada kualitas pengawasan makanan dan tanggung jawab penyelenggara. Perasaan takut, cemas, hingga frustrasi muncul sebagai reaksi terhadap minimnya informasi dan ketiadaan mekanisme aduan resmi yang dapat diakses. Bahkan, beberapa orang tua melaporkan adanya intimidasi ketika mencoba menyuarakan keresahannya. Laporan tersebut menandakan adanya tekanan sosial dan politik dalam ruang yang seharusnya aman bagi warga untuk bersuara.

Dalam kondisi yang dirasa tidak aman, solidaritas sosial mulai tumbuh di antara orang tua, salah satunya melalui komunitas Ibu Berisik. Komunitas ini tidak hanya berperan dalam advokasi kebijakan, tetapi juga berfungsi sebagai bentuk coping mechanism terhadap ketidakpastian yang mereka hadapi. Hal ini sejalan dengan temuan Garcia dan Rimé (2019) yang menyatakan bahwa pengalaman emosional yang dialami bersama dapat menumbuhkan rasa saling terhubung antarindividu melalui proses sinkronisasi emosional dan komunikasi sosial sehingga memperkuat solidaritas dalam komunitas. Di sisi lain, upaya mempertahankan rasa aman juga muncul pada level individu. Sebagian orang tua memilih menyiapkan bekal untuk anak sebagai cara mempertahankan kendali dan memenuhi tanggung jawab mereka. Sementara itu, beberapa lainnya menyalurkan aspirasi melalui gerakan sosial, seperti aksi Kenduri Suara Ibu Indonesia pada 17 Oktober 2025, yang menuntut transparansi dan akuntabilitas negara. 

Implementasi program MBG secara nasional menunjukkan adanya tekanan finansial tidak hanya pada negara, tetapi juga pada masyarakat, khususnya orang tua di wilayah ekonomi rentan. Salah satu dosen Psikologi UGM di bidang perkembangan, Theresia Novi Poespita Candra, S.Psi., M.Si., Ph.D., Psikolog, menyampaikan bahwa berdasarkan hasil perbincangannya dengan salah satu rekan yang bekerja di Badan Gizi Nasional (BGN), pelaksanaan MBG di lapangan sering kali tidak tepat sasaran, misalnya anak-anak dari keluarga miskin yang tidak bersekolah tidak memperoleh manfaat program. Sementara itu, di beberapa daerah justru terdapat anak-anak yang tidak membutuhkan bantuan gizi tetapi tetap menerima makanan gratis. Selain itu, penyediaan makanan banyak dilakukan oleh dapur umum milik militer atau provider eksternal, bukan masyarakat setempat. Padahal, jika orang tua murid dilibatkan dalam penyediaan makanan, roda ekonomi lokal dapat berputar karena mereka akan berbelanja di pasar tradisional dan memasak makanan bergizi secara mandiri. Dengan sistem yang berjalan saat ini, potensi pemberdayaan roda ekonomi tersebut justru terhambat, bahkan terbuang. Dilansir dari Tempo.co, kenaikan harga bahan pangan juga disoroti oleh Menteri Koordinator Bidang Pangan, Zulkifli Hasan, yang menilai bahwa rantai pasok tidak dikelola optimal sehingga peningkatan permintaan bahan makanan untuk MBG justru mendorong inflasi. Beliau menyatakan bahwa inflasi komponen bergejolak (volatile food) pada September 2025 dipengaruhi oleh akselerasi program MBG. Temuan dari Center of Economic and Law Studies (CELIOS) lebih lanjut mengindikasikan bahwa peningkatan permintaan tanpa pasokan yang memadai akan menciptakan insidensi regresif, yakni beban ekonomi yang tidak proporsional pada kelompok rentan.  Tekanan ekonomi ini berdampak langsung pada keluarga, terutama orang tua yang menghadapi kenaikan harga kebutuhan pokok di tengah pendapatan yang stagnan. Kondisi ini menyebabkan stres finansial yang turut memengaruhi kesejahteraan psikologis keluarga (Stevenson dkk., 2020). 

Berdasarkan wawancara dengan Relawan Ibu Berisik, mereka juga mengamini adanya stres finansial juga dirasakan oleh para orang tua. Mereka mengamati adanya kenaikan harga bahan pangan pokok yang signifikan sejak program ini berjalan. Stok bahan pangan di pasaran menurun karena sebagian besar terserap untuk kebutuhan program MBG. Penurunan ketersediaan stok bahan pangan mendorong kenaikan harga dan meningkatkan beban pengeluaran rumah tangga. Kecemasan dan ketidakpastian dalam memenuhi kebutuhan dasar serta menurunnya rasa kontrol terhadap kesejahteraan keluarga menandakan keberadaan stres finansial yang juga menjadi implikasi kebijakan makro pada tekanan psikologis mikro dalam rumah tangga.

Belakangan ini, masyarakat Indonesia dihebohkan oleh berita kasus keracunan MBG pada siswa dari sekolah-sekolah di berbagai penjuru Indonesia. Kasus keracunan makanan di sekolah tidak hanya menimbulkan gangguan fisik sesaat, tetapi juga luka psikologis yang membekas dalam ingatan anak-anak. Momen makan bersama yang biasanya menyenangkan berubah menjadi suatu pengalaman yang menegangkan karena trauma yang dialami anak-anak. Seperti yang diungkapkan oleh Theresia Novi, “Keracunan itu sendiri sudah menimbulkan traumatik”. Beliau juga menyebutkan bahwa trauma tersebut berasal dari selera makan yang rusak karena visualisasi MBG yang tidak diterima oleh anak-anak. Hal ini didukung oleh penelitian McGowan dkk. (2018) yang menekankan pentingnya meningkatkan daya tarik makanan bagi anak-anak. Adanya trauma visual ini membuat selera makan mereka menjadi rusak. Hal ini memunculkan rasa mual, jijik, dan trauma setelah melihat visualisasi makanan (Nusi dkk., 2025) . Diperkuat dari penuturan-penuturan Theresia Novi, misalnya, ketika seorang siswa yang semula tidak memiliki masalah dengan ayam menjadi enggan untuk menyentuhnya setelah melihat bentuk ayam yang menimbulkan kasus traumatik. Dengan begitu, selera makan anak akan menjadi rusak dan mereka akan menjadi mogok makan sehingga tidak ada pasokan makanan, khususnya makanan bergizi, di dalam tubuh mereka. Padahal, konsumsi makanan sehat dapat menjadi sarana penting dalam mendukung pembentukan karakter karena pola makan yang baik berhubungan langsung dengan kondisi mental, emosional, dan perilaku anak sehari-hari (Nusi dkk., 2025). Nahasnya, visual makanan akan menjadi pemicu utama yang dapat menanamkan kesan mendalam untuk mengingat makanan yang akan masuk ke perut anak-anak. Namun, dengan mengingat kasus keracunan, mereka dapat menjadi waspada untuk tidak menerima MBG sehingga selera makan mereka menjadi berkurang. Kata “bergizi” pada MBG patut dipertanyakan jika ujung-ujungnya mereka akan kekurangan gizi.

Hubungan antara makanan dengan aspek psikologis tidak berhenti di situ saja.  Theresia Novi mengungkapkan, “Makanan dalam psikologi itu suasana kebatinan, bukan suasana ke makanannya doang”. Pandangan ini menegaskan bahwa aktivitas makan sejatinya merupakan pengalaman emosional yang terbentuk melalui interaksi dalam keluarga. Faktor keluarga merupakan faktor yang paling berpengaruh terhadap pola makan anak karena lingkungan rumah merupakan lingkungan pertama yang dikenal anak sebelum mereka mengenal dunia lain (Jatmikowati dkk., 2023). Keluarga dapat memberikan suasana positif, seperti kehangatan yang dituangkan melalui makanan. Tidak hanya ketika duduk bersama di atas meja makan, tetapi juga bisa dari orang tua yang mengajak anaknya berbelanja bahan makanan dan mengagendakan untuk memasak bersama. Pernyataan tersebut menggambarkan bahwa proses makan–dari belanja hingga makan–tidak hanya berkaitan dengan aktivitas fisik, tetapi juga dengan keseimbangan emosi dan kedekatan keluarga. Anak yang dibesarkan dalam suasana penuh cinta dan dukungan akan merasa dihargai, memiliki kepercayaan diri, serta mampu mengekspresikan perasaan secara sehat (Kuku dkk., 2025). 

Melalui kegiatan belanja hingga menjadi sebuah hidangan yang disantap keluarga, proses ini dapat menyebabkan anak memiliki hubungan emosional lebih positif terhadap makanannya. Namun, dengan melihat MBG yang disalurkan melalui dapur yang dibuat penyelenggara, anak-anak akan menangkap makanan tersebut sebagai bantuan dari pemerintah.  Theresia Novi  menjelaskan bahwa ketika anak tumbuh tanpa dilibatkan dalam proses memperoleh atau menyiapkan makanan, mereka cenderung melihat makanan bukan sebagai hasil usaha dan kebersamaan, melainkan sebagai sesuatu yang diberikan begitu saja. “Mereka melihat makanan tuh objek yang dimasakin dan dikasih makanan kayak diberi bantuan”, ujarnya. Pola semacam ini dikhawatirkan dapat menumbuhkan “mentality peminta” atau disebut “ketergantungan”. Ketergantungan atas pemberian bantuan secara terus menerus disebut dengan dependency mentality atau dependency syndrome yang dapat  melemahkan inisiatif dan menciptakan kemalasan (Harvey dan Lind, 2005). Dengan kata lain, pemberian MBG kepada anak-anak dapat membentuk mentalitas ketergantungan pada diri mereka. Padahal, kegiatan seperti ikut berbelanja, memasak bersama, atau membantu menyiapkan hidangan merupakan bentuk kecil dari pembelajaran tentang tanggung jawab, gotong royong, dan rasa syukur. Ketika aspek ini dihapus dan digantikan oleh pola “menunggu diberi makan”, anak dapat tumbuh dalam sistem yang memperkuat mentalitas penerima. 

Program MBG juga turut membebani guru dan pihak sekolah lainnya. Berdasarkan cerita yang didapatkan bu Theresia Novi dari beberapa guru, banyak beban mental yang dirasakan seiring dengan bertambahnya pekerjaan yang harus diurus oleh mereka. Di sela-sela padatnya tugas sebagai pendidik, guru dan pihak sekolah kini juga perlu menerima banyak rantangan dan kemudian memastikan bahwa rantangan tersebut dikembalikan dalam jumlah utuh. Selain itu, mereka juga bertugas untuk memanajemen perilaku anak-anak terhadap MBG yang dapat menjadi sangat beragam, seperti anak-anak yang picky eater atau malah memilih bermain dengan makanannya. Maraknya kasus keracunan pada anak penerima MBG juga turut berkontribusi ke banyak hal yang harus diurusi guru di sekolah. Selain menjadi tambahan beban kerja, kasus keracunan anak di sekolah juga dapat menimbulkan vicarious trauma, yaitu dampak emosional dan psikologis yang dialami oleh seseorang karena terpapar ke pengalaman traumatis orang lain (Kounenou, 2025). Beberapa sekolah juga melaporkan adanya surat perjanjian kerja sama dengan isi yang merugikan mereka sebagai pihak penerima MBG, kewajiban pihak sekolah untuk mengganti alat makan yang rusak atau hilang, serta  untuk menjaga kerahasiaan informasi hingga SPPG menemukan solusi. Adanya tuntutan untuk mengawasi penggunaan tray makan dan memastikan informasi keracunan tidak bocor di era serba digital tentunya menambah stres pada guru. Padahal, guru dan pihak sekolah tidak menerima keuntungan satu peser pun dari peran mereka sebagai pendukung kesuksesan pelaksanaan program pusat. Penambahan beban kerja kepada mereka untuk melakukan pengecekan terhadap tray makan, manajemen perilaku anak, dan mengurus anak yang keracunan berpotensi menjadi occupational stress atau stres pekerjaan, yaitu reaksi terhadap tekanan atau tuntutan sebagai akibat dari pekerjaan seseorang (Gunasekra & Perera, 2023).  Kurangnya sorotan dan perbincangan mengenai kesiapan dan kapasitas guru dalam membantu jalannya program MBG menunjukkan bahwa isu kesejahteraan guru menjadi sesuatu yang tak kasat mata di mata pemangku kebijakan.

Selain berdampak ke kesejahteraan guru, beban mental pada tenaga pendidik juga dapat mempengaruhi perkembangan dan pengalaman anak di sekolah, bahkan setelahnya. Konflik-konflik yang berpotensi muncul di hubungan guru dan anak dalam pelaksanaan MBG dapat meningkatkan stres pada guru, khususnya guru yang menggunakan strategi regulasi diri berupa penekanan ekspresi emosi (Li dkk., 2025). Tingginya stres yang dirasakan guru dapat membuat guru melakukan penarikan dari hubungan sosial dengan muridnya dan menurunkan persepsi anak terhadap kepedulian guru (Ramberg dkk., 2020). Pengalaman buruk antara guru dan murid juga memiliki dampak jangka panjang pada self-esteem anak dan well-being-nya di masa dewasa, bahkan jika pengalaman tersebut sudah terjadi di masa yang sangat lampau (Dittman & Forsmeier, 2022). Selain itu, tingginya tingkat stres pada guru juga penting untuk diperhatikan karena berpotensi berubah menjadi tindak kekerasan, terutama pada guru atau individu yang sudah memiliki beban mental mayor dan depresif sebelumnya (Mohamed, dkk., 2024)

Implementasi program MBG di lapangan menunjukkan ketidaktepatan sasaran yang berpotensi menimbulkan ketegangan sosial dan ketidakpercayaan publik terhadap kebijakan pemerintah. Berdasarkan wawancara dengan dosen kesehatan mental makro, Diana Setiyawati, S.Psi., MHSc., Ph.D., Psikolog,  pelaksanaan MBG di beberapa sekolah justru menyasar anak-anak dari keluarga menengah ke atas yang secara ekonomi tidak membutuhkan bantuan pangan, sementara anak-anak dari keluarga miskin yang tidak bersekolah justru tidak mendapatkannya. Hal ini mencerminkan lemahnya proses asesmen dan tidak diterapkannya prinsip data-driven decision making dalam perancangan kebijakan. Beliau menegaskan bahwa ketiadaan basis data yang akurat dan terpusat menyebabkan ketimpangan distribusi dan tekanan pada pelaksana di lapangan. Akibatnya, terjadi tension antara kelompok masyarakat yang membutuhkan tetapi tidak menerima dan mereka yang tidak membutuhkan tetapi mendapat jatah. Situasi ini menimbulkan konflik sosial, stres kolektif, serta penurunan efektivitas penggunaan waktu dan energi baik di tingkat sekolah maupun keluarga. Selain menimbulkan ketegangan psikologis, kondisi ini juga menyoroti pemborosan anggaran negara yang tidak sejalan dengan tujuan awal, yaitu peningkatan kesejahteraan masyarakat. Hal ini memperlihatkan bahwa tanpa sistem asesmen yang tepat, kebijakan pangan justru berisiko menciptakan ketidakadilan struktural dan tekanan psikologis yang tidak perlu di tengah masyarakat.

Alokasi dana program MBG menunjukkan indikasi pemborosan akibat lemahnya asesmen kebutuhan dan ketidaksesuaian antara tujuan dengan implementasi di lapangan. Seharusnya, kebijakan publik seperti MBG dirancang dengan pendekatan data-driven decision making agar dana negara benar-benar digunakan untuk menjangkau masyarakat yang membutuhkan. Namun, seperti yang disampaikan oleh Diana Setyawati, perancangan MBG tampak tidak melalui asesmen mendalam terhadap kondisi sosial dan ekonomi sasaran program. Akibatnya, dana yang seharusnya dialokasikan untuk mendukung anak-anak dari keluarga yang miskin justru terserap ke mekanisme distribusi yang tidak efisien seperti, kontrak dengan penyedia eksternal, sistem logistik berlapis, dan penyajian makanan oleh pihak ketiga yang tidak melibatkan masyarakat lokal. Ketika implementasi tidak selaras dengan tujuan, anggaran negara yang seharusnya berfungsi sebagai investasi kesejahteraan justru terbuang untuk menutup inefisiensi administratif. 

Program MBG digagaskan dengan tujuan awal untuk memenuhi kebutuhan nutrisi dan mengurangi kesulitan finansial rakyat. Nyatanya, alih-alih tujuan yang tercapai, justru ada beban-beban psikologis yang harus ditanggung rakyat.  Pemerintah meremehkan data statistik keracunan, menuduh media memperkeruh keadaan, dan membanggakan program MBG yang katanya menjadi sorotan. Sementara itu, kasus keracunan anak diabaikan, suara orang tua tak diindahkan, dan kesulitan guru bahkan tidak dipertimbangkan. Apabila beragamnya keluhan dan beban yang dirasakan rakyat masih belum menimbulkan urgensi pemerintah untuk menindak tegas program MBG, baik dengan melakukan perbaikan besar-besaran maupun penghapusan total, kepentingan sebenarnya dari program MBG patut dipertanyakan. Peninjauan ulang secara masif sangat diperlukan tidak hanya terhadap kualitas eksekusi kebijakan MBG, tetapi juga terhadap kelayakan penempatan kebijakan MBG sebagai Program Strategis Nasional (PSN) dengan mempertimbangkan relevansi dan urgensinya terutama apabila dibandingkan dengan isu-isu lain di Indonesia.

 

Referensi 

  • Binokukar. (2025, September 19). MBG: Di saat bantuan justru menjadi momok. Binokular. https://binokular.net/2025/09/19/mbg-di-saat-bantuan-justru-menjadi-momok/ 
  • DetikHealth. (2025, September 26). BPOM catat 17 KLB keracunan makan bergizi gratis di 10 provinsi, ini daftarnya. DetikHealth. https://health.detik.com/berita-detikhealth/d-7916781/bpom-catat-17-klb-keracunan-makan-bergizi-gratis-di-10-provinsi-ini-daftarnya 
  • DetikNews. (2025, November 2). KPAI usul MBG dievaluasi cegah keracunan pada anak terulang. DetikNews. https://news.detik.com/berita/d-8121724/kpai-usul-mbg-dievaluasi-cegah-keracunan-pada-anak-terulang
  • Media Indonesia. (2025, Oktober 30). Kak Seto kecewa banyak anak keracunan MBG, bisa berdampak ke psikologis. Media Indonesia. https://mediaindonesia.com/humaniora/814970/kak-seto-kecewa-banyak-anak-keracunan-mbg-bisa-berdampak-ke-psikologis 
  • Dittmann, C., & Forstmeier, S. (2022). Experiences with teachers in childhood and their association with wellbeing in adulthood. BMC psychology, 10(1), 283. https://doi.org/10.1186/s40359-022-01000-6
  • Gunasekra, K. A., & Perera, B. A. K. S. (2023). Defining occupational stress: A systematic literature review. FARU Journal, 10(1). https://doi.org/10.4038/faruj.v10i1.195
  • Harvey, P., & Lind, J. (2005). Dependency and humanitarian relief-a critical analysis. https://www.files.ethz.ch/isn/25956/hpgreport19.pdf
  • Jatmikowati, T. E., Nuraini, K., Winarti, D. R., & Adwitiya, A. B. (2023). Peran guru dan orang tua dalam pembiasaan makan makanan sehat pada anak usia dini. Jurnal Obsesi: Jurnal Pendidikan Anak Usia Dini, 7(2), 1279-1294. https://doi.org/10.31004/obsesi.v7i1.3223
  • Kounenou, K., Pezirkianidis, C., Blantemi, M., Kalamatianos, A., Kourmousi, N., & Kostara, S. G. (2025). Vicarious trauma and burnout among mental health professionals in Greece: the role of core self-evaluations, self-compassion, and occupational factors. Psychiatry International, 6(3), 100. https://doi.org/10.3390/psychiatryint6030100
  • Kamal, I. (2025, Oktober 5). MBG: Makan bergizi gratis atau makan bikin gelisah?  — Perspektif psikologi anak dan  orang tua. tatkala.co. https://tatkala.co/2025/10/05/mbg-makan-bergizi-gratis-atau-makan-bikin-gelisah-perspektif-psikologi-anak-dan-orang-tua
  • Li, S., Zhao, X., & Jeon, L. (2025). Teacher–child relationships and perceived stress among head start teachers: examining the moderating roles of emotion regulation and workplace support. In Child & Youth Care Forum (pp. 1-25). Springer US. https://doi.org/10.1007/s10566-025-09891-3
  • Mardianti, D. L. (2025, Oktober 12). Masyarakat Sipil Kritik Pembuatan Perpres MBG yang Tertutup. Tempo.co. https://www.tempo.co/politik/masyarakat-sipil-kritik-pembuatan-perpres-mbg-yang-tertutup-2078768
  • Mohamed, N. H., & Relojo-Howell, D. The relationship between perceived stress and aggression behavior among individuals with major depressive disorder (MDD). International Journal for Multidisciplinary Research (IJFMR), 6, 1–7. https://doi.org/10.36948/ijfmr.2024.v06i06.31620
  • Ramberg, J., Brolin Låftman, S., Åkerstedt, T., & Modin, B. (2020). Teacher stress and students’ school well-being: The case of upper secondary schools in Stockholm. Scandinavian Journal of Educational Research, 64(6), 816-830. https://doi.org/10.1080/00313831.2019.1623308
  • Seno, B. A., & Pamungkas, R. A. (2025, September 26). Kak Seto kecewa banyak anak keracunan MBG, bisa berdampak ke psikologis. Media Indonesia. https://mediaindonesia.com/humaniora/814970/kak-seto-kecewa-banyak-anak-keracunan-mbg-bisa-berdampak-ke-psikologis
  • Shakti, A. R. (2025, September 27). KPAI sebut kasus keracunan MBG bisa menimbulkan dampak psikologis bagi anak. Tribunnews.com. https://www.tribunnews.com/nasional/7734352/kpai-sebut-kasus-keracunan-mbg-bisa-menimbulkan-dampak-psikologis-bagi-anak
  • Stevenson, C., Costa, S., Wakefield, J., Kellezi, B., & Stack, R. (2020). Family identification facilitates coping with financial stress: A social identity approach to family financial resilience. Journal of Economic Psychology. https://doi.org/10.1016/j.joep.2020.102271
  • Garcia, D. & Rimé, B. (2019). Collective Emotions and Social Resilience in the Digital Traces After a Terrorist Attack. Psychological Science, 30(4), pp.617–628. https://doi.org/10.1177/0956797619831964
  • Website Dinas Kesehatan Kota Yogyakarta. (2025, Oktober 27). Pencegahan dini dan kewaspadaan keracunan pangan program mbg. https://kesehatan.jogjakota.go.id/berita/id/680/pencegahan-dini-dan-kewaspadaan-keracunan-pangan-program-mbg/
  • Yudi, A. L. (2025, Oktober 28). Zulhas: Inflasi Volatile Food karena Akselerasi Program MBG. Tempo.co. https://www.tempo.co/ekonomi/zulhas-inflasi-volatile-food-karena-akselerasi-program-mbg-2084072

Leave A Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*