Pernah enggak sih kalian terpikir kenapa banyak banget calon mahasiswa yang lebih memilih UTUL UGM daripada jalur tes tulis/mandiri lainnya? Ya, salah satunya karena Universitas Gadjah Mada itu bebas uang pangkal. Lalu apa sih yang penting dari mengetahui uang pangkal ini? Yakinlah bahwa sepenting itu.
Mari kita lihat berbagai literasi soal sistem keuangan kampus, bagi mereka yang pernah menjajal berbagai universitas atau instansi pendidikan di tingkat perguruan tinggi tentu tidak asing dengan banyaknya nama lain dari uang pangkal. Istilahnya umum ditemui seperti: uang gedung, uang pembangunan dan sederet nama lainnya. Tentu tidak bisa kita nafikan bahwa kebutuhan pembangunan kampus UGM cukup tinggi. Bagaimanapun juga banyak fasilitas yang masih perlu dibenahi atau dibangun oleh rektorat. Akan tetapi, apakah uang pangkal adalah solusi?
Pada dasarnya, uang pangkal memiliki dasar hukum yaitu berlandaskan Peraturan Menristekdikti No. 39 Tahun 2017 tentang Biaya Kuliah Tunggal dan Uang Kuliah Tunggal pada Perguruan Tinggi di Lingkungan Kementrian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi. Hal ini sebagaimana dalam Pasal 6 yang mengatur bahwa, “PTN dilarang memungut uang pangkal dan/atau pungutan lain selain UKT dari mahasiswa baru Program Diploma dan Program Sarjana untuk kepentingan pelayanan pembelajaran secara langsung.” Kemudian, perihal uang pangkal disebutkan lagi dalam Pasal 8, yang berbunyi, “PTN dapat memungut uang pangkal dan/atau pungutan lain selain UKT dari mahasiswa baru Program Diploma dan Program Sarjana bagi : a. mahasiswa asing; b. mahasiswa kelas internasional; c. mahasiswa yang melalui jalur kerja sama; dan/atau d. mahasiswa yang melalui seleksi jalur mandiri.” (Kajian Aksi Menggugat Gadjah Mada)
Tentu yang jadi masalah adalah timbulnya ketidakadilan ketika terjadi penerapan uang pangkal ini. Bagaimana bisa? Tentu dari segi pembayarannya tidak adil. Jika kita kilas balik sedikit, setiap tahunnya sistem pendidikan Indonesia hanya menyediakan 3 jalur kesempatan untuk menjajal kemampuannya selama 3 tahun belajar di jenjang SMA yaitu SNMPTN, SBMPTN, dan jalur mandiri. Namun sayang, hal itu berlaku bila kamu tidak mengalami kendala ekonomi seperti banyaknya calon mahasiswa lain. Bagi mereka yang memiliki keterbatasan pada sisi ekonomi, kini nyawa mereka tinggal 2/3 akibat penerapan uang pangkal ditujukan pada seluruh mahasiswa yang masuk dari jalur mandiri. Padahal, jalur mandiri saja sudah mematok harga pendaftaran yang tidak sedikit, belum lagi apabila lulus di jalur mandiri harus meraup uang yang besar. Kemudian, stigma yang akan muncul bahwa jalur mandiri hanya untuk mereka “yang berada” , padahal perguruan tinggi seperti UGM adalah fasilitas yang disediakan oleh negara untuk melaksanakan tugas “mencerdaskan kehidupan bangsa.”
Hal ini sangat berkontradiksi dengan amanat UU No. 12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi dalam Pasal 3 dinyatakan bahwa “… penyelenggaraan pendidikan tinggi harus berasaskan keadilan dan keterjangkauan” Selanjutnya, pasal 6 (b) UU Dikti menyatakan bahwa penyelenggaraan perguruan tinggi harus demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif. Pemberlakuan uang pangkal berpotensi melanggar ketentuan di atas (Kajian Aksi Menggugat Gadjah Mada).
Kabar baiknya adalah UGM tidak akan menerapkan uang pangkal tetapi akan mempertimbangkan penerapan SPMA (Sumbangan Peningkatan Mutu Akademik). Mengutip Mas Dianrafi Alphatio (Fisipol 2015), selaku Menteri Koordinator Pengetahuan dan Pergerakan BEM KM UGM, setelah kesepakatan pasca aksi 13 November 2019 kemarin juga diafirmasi oleh Rektorat bahwa tahun 2020 tidak akan diterapkan SPMA/Uang Pangkal. Selain itu sesuai dengan pernyataan Mbak Diar Padmasari (FEB 2016) yang kini menjabat sebagai Ketua Forum Advokasi Mahasiswa (FORMAD), penerapan SPMA menyalahi semangat UKT (Uang Kuliah Tunggal), mengingat esensi dari UKT adalah peniadaan segala bentuk pungutan selain UKT itu sendiri.
Lebih jauh, kita tidak bisa melihat penerapan SPMA hanya sebelah mata. Pada dasarnya kita sebagai mahasiswa juga tetap membutuhkan sarana prasarana yang menunjang. Terlebih beberapa fakultas bahkan butuh pemugaran gedung atau pembelian alat-alat lab baru yang nominalnya tidak kecil. Apalagi bila kita bandingkan ke kampus lain yang sedang secara masif melakukan pembangunan dan pembenahan, sebut saja Universitas Indonesia dan Universitas Brawijaya, Universitas Gadjah Mada masih dalam kategori tidak terlalu aktif melakukan pembangunan bila dibandingkan dengan kedua kampus tersebut.
Tentu keterkaitan antara besaran SPMA ini dan proses seleksi masuk kampus juga harus menjadi sorotan. Mengingat di UGM tidak ada “adu kuat” dalam bidang ekonomi saat berusaha memasuki kampus kerakyatan ini, hal ini tidak lepas dari tidak adanya arena “adu kuat” tersebut. Penerapan SPMA juga uatidak boleh menjadi tolok ukur diterima atau tidaknya seorang calon mahasiswa menjadi bagian dari Gadjah Mada Muda. SPMA idealnya hanya bersifat “sumbangan” sebagaimana mestinya agar tidak ada “kewajiban” menyetorkannya saat masuk atau saat akan masuk ke dalam institusi pendidikan sekelas UGM. Arena “adu kuat” ini secara ekonomi harus tidak ada dan terus tidak ada agar perguruan tinggi dalam hal ini, Universitas Gadjah Mada, menghasilkan insan cendekiawan yang benar-benar terseleksi dengan baik dan adil sejak menginjakkan kakinya masuk ke kampus kerakyatan ini.
Pada akhirnya uang pangkal atau SPMA ini bukan menjadi satu-satunya jalan untuk menggalang dana pembangunan. Saat aku menanyakan kepada dua tokoh yang terlibat dalam eskalasi dan pengawalan isu, yaitu Mbak Diar dan Mas Alphatio, mereka mengaminkan bahwa menggandeng BUMN atau perusahaan lain untuk menjadi pihak ketiga dalam pembangunan, sebagaimana Fakultas Ekonomika dan Bisnis melakukan pembangunan gedung dengan pendanaan dari Pertamina, Angkasa Pura II, dan Bank Mandiri, serta berbagai perusahaan lain.
Mari buka mata kawan, perjuangan belum usai.
Hanya ada satu kata pada Ketidakadilan, Lawan!
Panjang umur perjuangan.
Dari aku yang masih belajar politik kampus,
Zaadila Muftial M.
(18/430630/PS/07787)
0 Comments