Prolog 

Kesehatan mental merupakan salah satu topik yang mulai gencar dibahas di media sosial masa kini. Masyarakat mulai memahami bahwa kesehatan mental memang berperan besar dalam kehidupan seseorang dan sama pentingnya dengan kesehatan jasmani. Besarnya keingintahuan masyarakat terkait informasi mengenai kesehatan mental mendorong mereka untuk saling berbagi mengenai pengetahuannya tentang hal tersebut, mulai dari ciri mental yang sehat, cara mengembangkan perilaku sehat mental, hingga macam-macam gangguan mental. Namun, yang luput dari baiknya penyebaran informasi terkait kesehatan mental ini adalah informasi yang kredibel serta cara penyampaian yang tepat. Padahal, faktor penyampaian ini sangat penting agar makna yang ingin diberikan tepat sasaran. 

Salah satu ketidaktepatan penyampaian tersebut pernah terjadi pada seorang public figure yang membuat sebuah cuitan di twitter mengenai ketidakstabilan mentalnya dengan disertai beberapa foto “estetik”. Cuitan tersebut menjadi kontroversial karena dinilai mengglorifikasi gangguan mental. Selain itu, bentuk lain dari glorifikasi gangguan mental juga pernah dilakukan oleh beberapa influencer yang membuat merchandise bertuliskan berbagai jenis gangguan mental, seperti “anxiety”, “trust issue”, dan sebagainya yang dipasarkan melalui media sosial. Hal ini tentu mengundang pro dan kontra dari berbagai pihak. 

Contoh lainnya adalah terdapat public figure yang secara tidak langsung terlibat dan turut mendukung unplanned movement. Salah satunya serial Netflix 13 Reasons Why, dimana film ini termasuk dalam kategori film yang berbahaya bagi remaja karena terkesan mengglorifikasikan mental illness dan promoting suicidal act (mendukung tindakan bunuh diri). Studi yang dilakukan oleh Bridge, dkk. (2019), mengkonklusikan bahwa perilisan series tersebut berasosiasi dengan 195 kasus bunuh diri oleh umur 10-17 tahun, pada 2017 silam. Selain itu terdapat seorang penyanyi yang terkesan ‘mempromosikan’ depresi melalui lirik lagu dan video musiknya, yang membuat para fans menanggapinya sebagai suatu penyakit yang menarik. 

Kasus-kasus tersebut hanyalah sebagian kecil dari glorifikasi gangguan mental yang telah dilakukan dan kini sedang menjadi tren. Hal ini membuktikan bahwa walaupun kita memiliki niat baik untuk menyebarkan informasi dan awareness mengenai kesehatan mental, kita juga tetap memerlukan pengetahuan yang berbanding lurus terkait bagaimana cara kita menyampaikan informasi tersebut agar informasi yang diberikan tidak salah dipersepsi. Lalu, sebenarnya apa itu glorifikasi gangguan mental

Definisi 

Seperti arti perkatanya, glorifying dalam bahasa inggris berarti memuliakan atau membanggakan, serta dilansir dari Psychiatry.org (2018), mental illness adalah sebuah kondisi kesehatan yang di dalamnya melibatkan perubahan emosi, pikiran, dan perilaku, atau

kombinasi dari ketiganya. Mental illness diasosiasikan dengan distres atau masalah keberfungsian dalam aktivitas terkait sosial, pekerjaan, atau keluarga. Selain itu, menurut Mayo Clinic (2019), mental illness sendiri berarti suatu kondisi penyakit yang memengaruhi pikiran, perasaan, dan perilaku. Menggabungkan dua kata ini, glorifying mental illness dapat diartikan sebagai perilaku individu yang bersikap bangga akan penyakit mental yang dimiliki. Padahal, perilaku ini sungguh tak elok untuk dilakukan. Sama halnya seperti penyakit fisik, penyakit mental pun memiliki bahaya yang dapat mengganggu kehidupan. 

Penyebab 

Menurut Lee dan Vidamaly (2021) dalam jurnal Young Adults’ Mental Illness Aesthetics on Social Media, ada tujuh mediator yang teridentifikasi menjadi penyebab “pengestetikan” gangguan mental, diantaranya Tumblr, media, perilaku mencari perhatian orang, mekanisme coping, victimhood, emo culture, dan kesadaran akan kesehatan mental. Media yang dimaksud di sini, misalnya adalah film, TV, blog, majalah, buku, karya seni, bahkan baliho, karena media-media tersebut nyatanya berperan besar dalam proses glorifikasi gangguan mental, terutama gangguan makan, depresi, kecemasan, dan self-harm (Desai, 2017). Hal itu pun didukung oleh Yu (2018) yang menyebutkan bahwa acara televisi dan film sering menggambarkan penyakit mental secara tidak realistis, yang hanya mendorong romantisme dari hal tersebut. 

Akibat 

Maraknya glorifikasi gangguan mental dapat memberikan dampak buruk pada seseorang yang sedang berjuang dengan gangguan mentalnya. Mereka akan kesulitan mencari pertolongan dari orang lain karena dianggap hanya mencari atensi dan menjadi bahan candaan (Desai, 2017). Tren ini juga bisa menjadi celah atau alasan bagi orang dengan gangguan mental untuk melakukan tindakan yang dapat menyakiti diri sendiri atau orang lain (Yu, 2018). Hal ini karena masyarakat seolah-olah mendukung dan menganggapnya sebagai hal yang luar biasa sebagai pelarian sehingga penderita merasa yakin bahwa itu legal. 

Glorifikasi gangguan mental dapat berujung pada maraknya self diagnosed, dan hal tersebut tidak hanya berbahaya untuk diri sendiri, tetapi juga untuk orang lain dalam lingkup yang luas. Anggapan bahwa mental illnes adalah sesuatu yang indah, dapat menjadikan mental illness menjadi sesuatu yang ingin dimiliki dan pada setiap gejala yang dirasakan seseorang, seseorang tersebut dapat langsung melabeli dirinya sebagai seorang penderita. 

Selain itu, apabila seseorang tersebut kemudian mempublikasikan klaim tersebut di media sosial miliknya tanpa diagnosis resmi dari profesional, hal tersebut dapat menyebabkan orang lain dengan mental illness melakukan perbandingan terhadap dirinya (North Texas Daily, 2020). Pikiran-pikiran seperti mengapa aku tidak bisa seperti dia atau mengapa aku tidak bisa sebaik dia padahal memiliki illness yang sama, dapat memperparah kondisinya. 

Usaha untuk meningkatkan awareness dan glorifikasi, terkadang bisa terlihat sangat mirip, tetapi keduanya membawa dampak yang sangat berbeda. Lantas, bagaimana cara membedakan kedua hal tersebut? Ada dimana batasnya? 

Topik menarik ini akan kita bahas pada Ngariung pada 5 Juni 2021. Yuk daftar sekarang! Form pendaftaran dapat diakses melalui link: http://bit.ly/DaftarNgariung21 

REFERENSI 

Bridge, J., Greenhouse, J., Ruch, D., Stevens, J., Ackerman, J., & Sheftall, A. et al. (2020). Association Between the Release of Netflix’s 13 Reasons Why and Suicide Rates in the United States: An Interrupted Time Series Analysis. Journal Of The American Academy Of Child & Adolescent Psychiatry, 59(2), 236-243. doi: 

10.1016/j.jaac.2019.04.020 

Desai, A. (2017, August 25). Mental Illness: From Stigma to Glorification. Retrieved from https://www.edelweissbehavioralhealth.com/blog/2017/8/30/mental-illness-from-stigm a-to-glorification 

Jadayel, R., Medlej, K., & Jennifer Jadayel, J. (2008). Mental Disorders: A Glamorous Attraction on Social Media?. International Journal Of Teaching & Education, 7(1), 465-476. Retrieved from 

https://www.researchgate.net/publication/330764498_MENTAL_DISORDERS_A_GL AMOROUS_ATTRACTION_ON_SOCIAL_MEDIA 

Mayo Clinic. (2019, June 08). Mental illness. Retrieved from 

https://www.mayoclinic.org/diseases-conditions/mental-illness/symptoms-causes/syc-2 0374968#:~:text=Overview,eating%20disorders%20and%20addictive%20behaviors. 

North Texas Daily. (2020, September 8). Self-diagnosing is dangerous. Retrieved from https://www.ntdaily.com/self-diagnosing-is-dangerous/ 

Vidamaly, S., & Lee, S. L. (2021). Young Adults’ Mental Illness Aesthetics on Social Media. International Journal of Cyber Behavior, Psychology and Learning, 11(2), 13–32. https://doi.org/10.4018/ijcbpl.2021040102 

What Is Mental Illness? (2021). Retrieved 20 May 2021, from 

https://www.psychiatry.org/patients-families/what-is-mental-illness

Yu, J. (2018, October 16). Glorification of mental illness worsens cultural stigma. Retrieved from 

http://www.collegiatetimes.com/opinion/glorification-of-mental-illness-worsens-cultur al-stigma/article_ee290ca8-d154-11e8-8f43-6f787c05d16a.html

Categories: Artikel

0 Comments

Leave a Reply

Avatar placeholder

Your email address will not be published.