Oleh Fattih Ayu Quddsiyah
Pernahkah kamu bertanya, kenapa ya, aku gampang kepikiran sama cara orang melihat aku? Misalnya, saat seseorang membalas pesanmu tidak seperti biasanya, kamu langsung merasa cemas. Atau ketika kamu merasa ada perubahan kecil dari ekspresi atau nada bicara seseorang, kamu mulai memikirkan ulang semua ucapanmu sebelumnya. Reaksi seperti ini seringkali membuat kita menjadi overthinking, merasa insecure, bahkan mempertanyakan apakah kita telah melakukan kesalahan. Sebenarnya, mengapa hal tersebut dapat terjadi? Adakah stimulus internal maupun eksternal yang menyebabkannya?
Konsep Looking-Glass Self dari Charles Horton Cooley:
Pertama, kita bisa membedahnya dengan menggunakan teori looking-glass self dari Charles Horton Cooley. Menurut teori ini, konsep diri kita tidak terbentuk secara mandiri, tetapi dibentuk dari bayangan tentang cara kita mengira orang lain melihat kita. Artinya, kita cenderung menilai diri sendiri berdasarkan pantulan reaksi sosial dari lingkungan sehingga tidak heran jika kita menjadi sangat sensitif terhadap komentar, ekspresi, atau penilaian orang lain yang membentuk perasaan terhadap diri kita.
Teori Persepsi Diri dari Daryl Bem:
Selanjutnya, ada teori dari Bem terkait persepsi diri yang menjelaskan bahwa persepsi diri adalah kemampuan seseorang untuk mengenali, mengidentifikasi, dan menyatakan sikap maupun emosi dalam dirinya. Seseorang mengembangkan sikap dengan mengamati perilakunya dan lingkungan sekitar, kemudian menyimpulkan sebab-sebab dari hal yang telah diamati. Dengan kata lain, cara kita memandang diri sendiri turut dipengaruhi oleh pengamatan internal terhadap tindakan kita dan konteks sosial yang mengikuti.
Teori Self-Discrepancy dari E. Tory Higgins:
Teori ini menjelaskan bahwa kita menyimpan tiga representasi dalam diri, yaitu : the actual self (diri kita sekarang), the ideal self (diri yang kita inginkan), dan the ought self (diri yang seharusnya). Saat ada jarak antara the actual self dengan ideal self atau the ought self, dalam diri kita akan muncul berbagai reaksi emosional seperti perasaan tidak cukup, bersalah, atau malu. Perasaan ini datang karena dipicu oleh hal-hal kecil, seperti respons yang dingin, ucapan yang bernada kritik, atau ekspresi yang membuat kita mulai mempertanyakan: apakah aku mengecewakan mereka? Apakah aku tidak seperti apa yang mereka harapkan?
Teori Attachment dari John Bowlby:
Teori Attachment yang dikembangkan oleh John Bowlby, yang kemudian dilanjutkan oleh Mary Ainsworth, menjelaskan bahwa cara kita menjalin hubungan dengan orang lain saat dewasa sangat dipengaruhi oleh pengalaman keterikatan pada masa kecil. Jika seseorang tumbuh dalam lingkungan yang penuh ketidakpastian atau inkonsistensi emosi, mereka mungkin mengembangkan pola anxious attachment. Seseorang dengan pola ini cenderung sangat peka terhadap penolakan atau sinyal negatif dalam hubungan sosial. Bahkan hal-hal kecil, seperti pesan yang dibalas lama atau senyuman yang tidak dibalas dapat memicu rasa cemas. Hal ini disebabkan pemikiran individu yang beranggapan bahwa, sinyal-sinyal kecil tersebut bisa berarti: aku tidak cukup baik, aku akan ditinggalkan, atau aku harus berubah untuk diterima.
Berdasarkan penjelasan teori dari beberapa ahli, pengalaman yang kita rasakan menunjukkan bahwa kepedulian berlebihan berlebihan terhadap pandangan orang lain tidak timbul begitu saja. Ia tumbuh dari gabungan antara cara kita memandang diri sendiri, ekspektasi yang kita bawa, serta pengalaman emosional masa kecil. Perasaan itu muncul bukan karena kita lemah, melainkan karena kita secara alami ingin diterima, dipahami, dan merasa aman secara alami.
Namun, saat kepedulian itu berubah menjadi ketakutan akan penolakan , atau tekanan untuk terus memenuhi ekspektasi, di saat itulah kita perlu berhenti sejenak untuk kembali melihat diri sendiri dengan apa adanya tanpa harus selalu memenuhi standar yang dibentuk lingkungan.
Referensi
- Nurhidayah, S. (2011). Kelekatan (Attachment) dan Pembentukan Karakter. Turqts, 7 (2).
- Helmi, A., F. (1999). Gaya Kelekatan dan Konsep Diri. Jurnal Psikologi, 1 (9-17).
- Shafira, M., Komariah, S., & Wulandari, P. (2022). Analisis Teori Looking-Glass-Self Cooley: Fenomena Eksistensi Akun Kampus Cantik dan Konstruksinya di Masyarakat. The Indonesian Journal of Social Studies, 5(2), 146–154. https://doi.org/10.26740/ijss.v5n2.p146-154
- Gunawan, N., E. (2010). Actual-Ideal Self dalam Perilaku Pengambilan Keputusan. Paradigma, 9 (5).
- Hayundaka, A. (2023). Pengaruh harga diri terhadap kesejahteraan psikologis dan kesepian pada mahasiswa. 3(2), 171–176. https://doi.org/10.22219/pjsp.v3i2.28365
0 Comments