Oleh Daveisha Kirana
Temen-temen pernah gak, sih, ketemu sekelompok orang yang mengeklaim diri mereka “religius”, tetapi cara mereka bersikap terhadap orang lain justru kontradiktif dengan nilai-nilai agama? Bukannya saling mengasihi, mereka justru paling sigap perihal menindas dan menghakimi … Kira-kira kenapa, ya, hal ini bisa terjadi?
Orientasi Religiusitas? Apaan, tuh?
Allport (1950) memperkenalkan sebuah konsep bernamakan orientasi religiusitas melalui karyanya yang berjudul “The Individual and His Religion”. Orientasi ini mengacu pada pandangan individu mengenai peran agama dalam kehidupan yang dapat memengaruhi mereka dalam mempraktikkan nilai-nilai agamanya (Paloutzian, 1996). Allport membagi orientasi religiusitas dalam dua dimensi, yaitu ekstrinsik dan intrinsik. “Religion as means” merupakan bentuk pemahaman dari individu dengan orientasi ekstrinsik. Artinya, agama digunakan sebagai alat untuk menunjang motif, seperti status, harga diri, penerimaan sosial, dan pembenaran diri (Allport dan Ross, 1967). Di satu sisi, penghayatan agama pada individu dengan orientasi intrinsik tercerminkan melalui pemahaman “religion as an end”. Pada level ini, individu berusaha memaknai nilai-nilai agama sebagai pedoman dalam kehidupan yang tertuang melalui terciptanya keselarasan antara keyakinan dan perilaku (Barret dkk., 2004).