Latar Belakang

Sistem pendidikan di Indonesia masih merupakan suatu isu yang belum terselesaikan. Dalam Elihami (2019), reorientasi pendidikan di Indonesia pada umumnya masih cenderung menempatkan peserta didik sebagai objek atau klien, pengajar atau tutor yang memegang kekuasaan tertinggi dalam proses pembelajaran yakni sebagai figur yang seolah-olah memiliki otoritas tertinggi dalam keilmuan sehingga sistem pembelajaran bersifat subject-oriented. Oleh karena sistem edukasi seperti yang telah dijelaskan, peserta didik cenderung belajar dengan menghafal materi agar hasil ujian yang diperoleh dapat memuaskan. Apabila kultur tersebut dibiarkan, hal yang dikhawatirkan adalah saat siswa telah menjadi mahasiswa atau menduduki perguruan tinggi. Bagaimana tidak? Siswa-siswa tersebut sangat berkemungkinan hanya go with the flow dengan apa yang dituntut di sekolah, yakni seperti menjadi juara kelas agar dipandang sebagai anak pintar dan pada nantinya ketika hendak masuk perguruan tinggi, mereka lebih difasilitasi oleh kejuaraan yang diraih tersebut. Namun, satu hal yang perlu dipertimbangkan ialah apakah kejuaraan tersebut memang diraih karena mereka memang mengerti, memahami, dan mampu mengaplikasi ilmu yang diperoleh tersebut.

 Satu hal lagi yang juga krusial, apakah jurusan yang dipilih peserta didik telah sesuai dengan minatnya? Bagaimana jika selama ini mereka hanya diberi kesempatan terbatas untuk memperoleh ilmu? Kesiapan mental peserta didik setelah lulus dan harus terjun ke dunia industri harus dipertimbangkan juga. Selain itu, standar akreditasi yang mengikat menjadi salah satu hambatan bagi peserta didik untuk masuk ke perguruan tinggi, baik negeri maupun swasta. Oleh karena itu, banyak hal yang harus diperhatikan dalam memajukan sistem pendidikan Indonesia. Bagaimana cara agar ilmu yang diperoleh di sekolah bisa diimplementasikan dalam kehidupan sehingga tidak sia-sia, keefektifan administrasi dalam perguruan tinggi, dan melahirkan generasi penerus bangsa yang siap menjadi pekerja dan juga pemikir (Arifin, 2020). Jadi, poin penting dari suatu proses belajar bukanlah serta merta dilihat dari hasil nilai ujian yang tinggi melainkan pemahaman terhadap konsep pada materi tersebut. Dengan kata lain, pemahaman teoritis juga harus diimbangi dengan praktikal. Belajar dari pengalaman tersebut, sistem pendidikan di Indonesia perlu dikaji ulang dan direvisi. Hal tersebut telah dilakukan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Indonesia saat ini, Nadiem Anwar Makarim,  meluncurkan kebijakan Merdeka Belajar: Kampus Merdeka pada 24 Januari 2020 yang terdiri atas 4 pokok yang dilansir dari https://lldikti1.ristekdikti.go.id/details/apps/2043.

Kebijakan Kampus Merdeka dalam (Elihami, 2019) terdapat  empat  penyesuaian  kebijakan di  lingkup  Perguruan  Tinggi  yakni  penyusunan kurikulum,  praktik  kerja  atau  magang,  dan  penempatan  kerja  mahasiswa bekerja sama antara Perguruan Tinggi dan Mitra untuk melakukan pengawasan serta tracer study yang wajib dilaksanakan oleh PTN dan PTS. Program yang kedua adalah program re-akreditasi yang bersifat otomatis untuk seluruh peringkat dan bersifat sukarela bagi perguruan tinggi dan prodi  yang  sudah  naik  peringkat  yang  masa  berlakunya  selama  5  tahun,  namun  akan diperbaharui  secara otomatis.  Selanjutnya, program  yang  ketiga  adalah  kebebasan  bagi  PTN  Badan Layanan Umum dan Satuan kerja untuk   menjadi PTN Badan Hukum serta mempermudah persyaratan PTN BLU menjadi PTN BH tanpa  terikat  status  akreditasi. Program yang keempat yakni  memberikan hak kepada mahasiswa untuk secara sukarela mengambil  atau  tidak  sks  di  luar  kampusnya  sebanyak  dua  semester  atau  setara  dengan 40 sks. Meskipun demikian, masih terdapat banyak pro kontra terhadap kebijakan Kampus Merdeka.

 

Kelebihan Kampus Merdeka

Kampus merdeka sendiri ditujukan untuk memperluas kapasitas penyediaan sumber daya bagi para mahasiswa. Mulai dari pembukaan program studi baru yang dimaksudkan untuk memberikan mahasiswa kesempatan memilih jurusan yang sekiranya sesuai dengan kebutuhan pengetahuan dan keterampilannya di masa mendatang secara detail. Diperkuat dengan pembukaan prodi baru disyaratkan untuk perguruan tinggi yang memiliki akreditasi A dan B serta adanya kerjasama dengan mitra perusahaan, organisasi nirlaba, institusi multilateral, maupun universitas Top 100 ranking QS yang berarti dibukanya prodi baru tidak berdasar kuat, tetapi telah melalui banyak pertimbangan dan kualifikasi. Diharapkan pula karena adanya kebijakan ini maka mahasiswa dapat memperoleh materi dan pembelajaran yang lebih berkualitas dengan berkurangnya beban administrasi pada dosen. Kedua, adanya sistem akreditasi perguruan tinggi yang lebih mudah serta efektif bagi setiap prodi di universitas tanpa membebankan penilaian terutama beban administrasi kepada dosen. Ketiga, adanya kemudahan persyaratan bagi Perguruan Tinggi Negeri (PTN) untuk menjadi Badan Hukum (BH) tanpa adanya akreditasi minimum apabila sudah merasa siap. Keempat, menjadi poin paling pokok yakni mengenai hak belajar tiga semester di luar program studi. Maka dapat diartikan bahwa mahasiswa dapat memiliki ruang belajar yang lebih luas serta memiliki kebebasan untuk menentukan rangkaian pembelajarannya secara lintas disiplin dan tidak terpengaruhi kuantitas SKS. Hal ini sejalan dengan teori perkembangan kognitif milik Vygotsky, dimana untuk mengembangkan pemikiran dan pemahaman itu sendiri melalui aksi dan interaksi dengan dunia sekitarnya dan pengembangan dan terjadi tergantung pada apa yang disediakan oleh masyarakat (Santrock, 2018). Oleh karena itu, peran kebijakan ini ditegaskan dengan upaya pemberian hak mahasiswa dalam pengembangan diri melalui kesempatan eksplorasi pembelajaran di luar program studinya. Berdasarkan The Zone of Proximal Development, seseorang dapat mempelajari suatu hal yang sulit dikuasai sendiri dengan bimbingan dari orang yang lebih ahli. Melihat dari teori tersebut, kebijakan ini dapat menjadi kesempatan mahasiswa untuk mengembangkan potensi di luar bidang prodi pokoknya dengan bimbingan ahli melalui lintas disiplin.

 

Memahami Kelemahan Kebijakan Kampus Merdeka

Rencana kebijakan Kampus Merdeka masih menuai pro dan kontra. Indra Charismiadji, seorang pengamat pendidikan dari Center of Education Regulations and Development Analysis (CERDAS) berpendapat bahwa kebijakan Kampus Merdeka bukan sebuah kebijakan strategis, melainkan hanya sebuah gimik belaka. Hal ini disebabkan kebijakan tersebut dianggapnya belum menyentuh aspek sumber daya manusia, yaitu guru dan dosen, sama sekali. Sementara, guru dan dosen masih menjadi tombak dari pembangunan pendidikan. Beliau menegaskan bahwa pembangunan pendidikan sejatinya dimulai dari dari sana, dilansir dari CNN Indonesia.

Penulis Buku dan Pengamat Pendidikan, Doni Koesoema A, mengatakan bahwa kebijakan Kampus Merdeka belum terasa optimal. Kebijakan Kampus Merdeka juga hanya memunculkan berbagai kebingungan di berbagai pihak karena maksud dari kebijakan ini sulit dipahami. Ia juga berpendapat bahwa ketimpangan kualitas antar-perguruan tinggi menjadi masalah bagi diterapkannya kebijakan ini. Hal tersebut dikarenakan hanya perguruan tinggi dengan kualitas baik saja lah yang dapat saling berkolaborasi, sedangkan perguruan tinggi dengan kualitas rendah akan semakin tertinggal dan kesulitan membangun jejaring untuk mengembangkan ilmu, baik itu dalam aplikasi dunia nyata maupun dunia kerja (“Kompas.com”, 2020).

Selain itu, dilansir dari Tirto.id, Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), Ubaid Matraji berpendapat bahwa kebijakan Kampus Merdeka sangat berorientasi pada pasar bebas, terutama pada poin mempermudah kampus menjadi badan hukum. Menurut beliau, PTN BH pada dasarnya mengizinkan negara untuk lepas tangan dalam menjamin pendidikan bagi warga negara. Kampus diarahkan untuk mencari pemasukan sendiri untuk biaya operasional, yang memungkinkan langkah selanjutnya adalah menaikkan biaya kuliah karena dianggap menjadi cara yang paling mudah. Hal ini tentu berisiko memperbesar kesenjangan pendidikan di masyarakat dan menyuburkan stigmatisasi bahwa pendidikan tinggi hanya diperuntukkan untuk masyarakat menengah ke atas.

Menurut pengamat dunia pendidikan, Darmaningtyas, Nadiem—dengan kebijakannya menukar 2 semester atau setara dengan 40 sks dengan program magang—tidak paham dengan sistem pendidikan tinggi yang ada di Indonesia, dilansir dari CNN Indonesia. Rencana Nadiem seolah-olah ingin menyamaratakan kegiatan belajar mengajar seluruh satuan pendidikan tinggi. Sementara masing-masing dari mereka memiliki cara atau tujuan yang berbeda dalam hal teori dan praktik. Politeknik dan akademi lebih mengedepankan praktik daripada teori. Universitas dan sekolah tinggi sebaliknya. Oleh karena itu, ide Nadiem dirasa kurang pas. Seharusnya program magang diberikan kepada politeknik atau akademi sebagai upaya perluasan praktik mereka. Selain itu, program baru ini terlalu fokus untuk mencetak mahasiswa sebagai pekerja, sedangkan Indonesia juga membutuhkan lulusan-lulusan yang ahli dalam bidang ilmu pengetahuan.

Penguasaan materi atau teori yang mendalam sangat dibutuhkan sebelum terjun ke dunia kerja atau melakukan praktik. Hal ini dapat dianalogikan seperti dalam proses penelitian, seorang peneliti harus memiliki landasan teori yang baik dan kuat sebelum melakukan penelitian. Adanya teori membuat langkah-langkah yang akan diambil menjadi lebih jelas dan terpercaya. Menurut beberapa mahasiswa di dalam panel diskusi Philot, mereka menuturkan bahwa teori sangatlah penting. Contohnya, Amy Fernando S, salah satu mahasiswa akuntansi berpendapat bahwa mempraktikkan sesuatu tanpa adanya bekal teori sama saja dengan mempraktikkan sebuah khayalan.

 

Reaksi Masyarakat

Kebijakan kampus merdeka juga banyak menuai berbagai respons dari masyarakat, begitu pun para tenaga pendidik. Kepala Pusat Inovasi dan Kajian Akademik Universitas Gadjah Mada, Hatma Suryatmojo, menyebutkan bahwa kebijakan ini merupakan sebuah pola baru bagi dunia pendidikan dan diperlukan banyak penyesuaian dalam pengimplementasiannya. Beliau menambahkan pernyataan  bahwa UGM dalam hal ini melihat kampus merdeka sebagai sebuah peluang untuk melakukan lompatan besar menuju kemandirian dan keunggulan UGM di kancah nasional maupun global (Bernie, 2020).

Respon serupa juga diberikan oleh rektor Unair, Mohammad Nasih. Menurutnya kampus merdeka dapat membuat mahasiswa belajar secara lebih fleksibel. Senada dengan Mohammad Nasih, Arif Satria selaku rektor IPB memandang pembelajaran kedepannya akan lebih berorientasi pada personalized yang lebih menekankan pada minat, bakat, dan kebutuhan mahasiswa sehingga adanya kebijakan kampus merdeka akan menjadi sarana yang tepat bagi tercapainya hal tersebut. Kebijakan mengenai kegiatan dan magang dalam kampus merdeka juga akan memberikan mahasiswa gambaran realita di masyarakat, yang diharapkan mampu meningkatkan kemampuan kolaborasi dan problem solving mahasiswa. Beliau juga menambahkan bahwa IPB tidak akan terganggu dengan adanya kebijakan ini, pasalnya pihaknya terlebih dahulu telah menetapkan kebijakan serupa, seperti program mayor dan minor yang memberikan kesempatan mahasiswa untuk mengambil program studi pendukung. Selain itu, IPB juga telah merancang kebijakan untuk membiasakan mahasiswa untuk berkolaborasi lintas disiplin dalam penyusunan tugas akhir.

Respons positif juga diberikan oleh Rektor ITB, Prof. Reini. Ia memaknai kampus merdeka sebagai kemerdekaan dalam kecendekiaan dan pengembagan ahlak serta budi pekerti sarjana, kemerdekaan pengembangan ilmu pengetahuan dan kedaulatan dan kesejahteraan bangsa,  dan kemerdekaan untuk kemaslahatan masyarakat dunia. Sebelumnya, pihaknya pun telah memiliki beberapa kebijakan yang selaras dengan kebijakan dalam kampus merdeka (Prodjo, 2020).

Hambatan lebih besar dirasakan Universitas Terbuka, Ojat Darojat selaku rektor dari UT menyampaikan bahwa pihaknya mendukung kebijakan ini, tetapi di saat yang sama beliau juga harus memutar otak untuk menyiasatinya. Pasalnya, mahasiswa UT rata-rata adalah mereka yang sudah menikah atau bekerja, sehingga tidak memiliki banyak waktu seperti mahasiswa pada umumnya. Selain itu, kegiatan perkuliahan yang dilakukan dengan sistem jarak jauh juga menjadi hambatan tersendiri dalam pelaksanaannya (Bernie, 2020).

Pihak yang secara langsung terkena efek dari kebijakan kampus merdeka tidak lain adalah mahasiswa itu sendiri. Para mahasiswa tentu memiliki pandangan dan pendapat tersendiri mengenai kebijakan baru ini. Berdasarkan survey yang telah dilakukan berupa penyebaran kuesioner mengenai pengetahuan dan pendapat mahasiswa tentang kampus merdeka, hasil menunjukkan bahwa kebijakan kampus merdeka menimbulkan berbagai pro dan kontra di kalangan mahasiswa. Ketika diberi pertanyaan terbuka mengenai apa yang mereka ketahui tentang kampus merdeka, rata-rata mahasiswa mengetahui apa itu kampus merdeka serta kebijakan-kebijakannya. Ada yang menjelaskan dengan detail aspek-aspek apa saja yang akan diubah, ada yang sekedar tahu bahwa terdapat perubahan dalam kebijakan tersebut, ada juga yang menyebutkan penggagas program ini, yaitu Nadiem Makarim selaku Mendikbud.. Namun, beberapa mahasiswa ada yang mengaku tidak tahu sama sekali, mereka hanya pernah mendengar dan tidak mencari tahu lebih lanjut.

Dalam menanggapi pertanyaan mengenai bagaimana pendapat mereka tentang kampus merdeka, suara mahasiswa terlihat lebih jelas. Mayoritas mahasiswa merasa bahwa program ini belum dapat diterapkan dan masih harus dilakukan persiapan yang lebih matang. Bahkan ada yang merasa kebijakan ini malah akan mempersulit mahasiswa apabila negara dan kampus belum siap. Ada juga yang berpendapat bahwa kebijakan ini perlu asesmen lebih dalam terhadap perguruan-perguruan tinggi di Indonesia sebelum melakukan intervensi, karena pihak yang akan diintervensi oleh kebijakan ini berupa sistem berskala nasional dan mengubah suatu sistem bukan hal yang mudah. Di samping itu, tentunya ada juga mahasiswa yang menganggap program ini menarik dan setuju dengan program ini. Ada yang menganggap program ini dapat memberikan kesempatan bagi mahasiswa untuk mendapatkan pengetahuan dan skill yang mungkin tidak didapatkan di fakultas asal mereka. Ketika menjawab pertanyaan ini, para mahasiswa juga mengajukan kritik serta saran untuk kebijakan yang akan diterapkan.

 

Konklusi

Kebijakan Kampus Merdeka masih menuai pro dan kontra dari berbagai pihak, baik di kalangan ahli, tenaga pengajar, maupun mahasiswa. Selain itu, tak dapat dipungkiri bahwa kampus merdeka memang memiliki sisi positif maupun negatif. Terlepas dari itu semua, sejalan dengan dikeluarkannya kebijakan kampus merdeka, diharapkan dunia pendidikan Indonesia dapat bergerak ke arah yang lebih baik demi meningkatnya kualitas sumber daya manusia di Indonesia.

 

Oleh

Departemen Kajian Strategis

Categories: Artikel

0 Comments

Leave a Reply

Avatar placeholder

Your email address will not be published.