Pandemi COVID-19 ini mengharuskan kita untuk melakukan physical distancing dan self-quarantine sehingga banyak pasangan terpaksa menjalani LDR atau Long Distance Relationship. Keadaan ini memaksa pasangan untuk mengurangi interaksi secara langsung. Akan tetapi, interaksi dengan pasangan tetap dapat dilakukan secara daring atau online. Kalian jangan khawatir, interaksi via online ini tetap dapat dapat membuat hubungan kalian lancar, kok! Apa penjelasannya? Simak yuk!
- Psychological Distress
Ketika sedang menjalani LDR, seseorang yang merasa overthinking dan cenderung mengkhawatirkan hal-hal yang tidak pasti akan memiliki tingkat psychological distress yang lebih tinggi sehingga dapat menimbulkan persepsi negatif pada hubungan tersebut (Dargie dkk., 2013). Menurut Mirowsky dan Ross (dalam Drapeau, A., Marchand, A., & Beaulieu-Prevost, D., 2012), psychological distress adalah keadaan emosional yang tidak baik dan ditandai dengan munculnya gejala depresi dan gejala kecemasan. Psychological distress ini dikhawatirkan akan memengaruhi penurunan pada kualitas hubungan yang terjalin sehingga pasangan perlu untuk memahami keadaan satu sama lain. Hal tersebut dilakukan guna memelihara hubungan jarak jauh agar tetap harmonis dan mempertahankan keadaan mental antar individu agar tetap stabil.
- Relationship Certainty
Terkadang, jarak menjadi alasan berat bagi para pasangan yang menjalin hubungan jarak jauh. Padahal, jarak tidak selalu membuat long distance relationship memburuk. Mereka yang memiliki kepastian tentang kelanjutan hubungan mereka di masa depan lebih memiliki hal konkret untuk diwujudkan bersama dan saling mendukung dengan tujuan yang ingin dicapai bersama. LDR akan berbeda jika pasangan tidak memiliki kejelasan tentang apa yang akan mereka wujudkan di masa depan (Dargie dkk., 2013). Pernyataan tersebut diperkuat dengan adanya Teori Manajemen Ketidakpastian yang menjelaskan bahwa setiap pasangan yang menjalani Long Distance Relationship terkadang mengalami perasaan ketidakpastian terhadap masa depan hubungan yang mereka jalani. mereka mencoba untuk mengurangi perasaan tersebut dengan berbagai cara, contohnya meningkatkan waktu untuk berkomunikasi dengan pasangan mereka dan membuat rencana untuk menemui mereka. Dainton & Aylor, 2001; Maguire, 2007; Sahlstein, 2006 dalam Waterman dkk., 2017)
Kepastian suatu hubungan dapat dilihat dari bagaimana setiap pasangan mengatur kelekatan hubungan yang mereka bangun. Dalam suatu hubungan, ada dua tipe macam kelekatan yaitu secure attachment dan fearful attachment. Suatu penelitian yang dilakukan oleh Pistole, Carole., Roberts, Amber., Chapman, Marion., (2010) Secure attachment memiliki manajemen konflik yang lebih positif dibandingkan dengan fearful. Perbedaan tersebut disebabkan perbedaan pandangan antara diri dan pasangan. Secure attachment kemungkinan lebih percaya diri untuk memotivasi diri dan pasangan mereka. Sebaliknya, fearful cenderung memiliki manajemen konflik yang buruk karena mereka selalu menanyakan harga diri mereka dan percaya bahwa pasangan akan menolak mereka daripada memotivasi untuk menyelesaikan konflik.
- Video call
Mau tidak mau kita harus terhalang jarak dengan pasangan karena corona. Interaksi tatap muka yang dulu mungkin dapat dilakukan secara rutin, dapat kita coba ganti dengan interaksi lewat video call. Menurut Neustaedter & Greenberg (2012), Melihat ekspresi wajah dan saling berbicara lewat video call dapat meningkatkan rasa keterhubungan antar pasangan. Tentu interaksi lewat chat dapat menjadi alternatif, namun tidak ada salahnya ditambahi dengan saling video call bila rasa keterhubungan dapat meningkat. Hanya dengan melihat wajah pasangan lewat video call saja sudah dapat meningkatkan kedekatan emosional. Tak hanya saling melihat wajah dan mengobrol, bagi kalian yang berada dalam zona waktu yang sama atau dengan perbedaan waktu yang sedikit, dapat melakukan aktivitas bersama saat video call, seperti menonton film bersama-sama, makan malam dengan menu yang sama, dan lain-lain.
- Humor
Kedua, cobalah berbagi cerita atau pengalaman lucu kepada pasangan. Mengapa ini menjadi hal yang penting? Penelitian Kurt & Algoe (2015) menemukkan bahwa tertawa bersama pasangan berhubungan dengan baiknya kualitas, kedekatan, dan dukungan dalam sebuah hubungan. Selain itu, berbagi pengalaman lucu juga dapat memperkuat ikatan dan meningkatkan kepuasan dalam sebuah hubungan (Bazzini, Davis, Martincin, & Stack, 2007). Penelitian terdahulu juga menemukkan bahwa adanya humor merupakan salah satu tanda dari kepuasan dalam suatu hubungan (Kerr, Lauer, &, Lauer, 1989, dalam Bazzini dkk., 2007). Alasan lain mengapa humor atau hal lucu menjadi hal yang krusial dalam sebuah hubungan adalah pasangan yang terlibat aktivitas lucu bersama, seperti berbagi pengalaman lucu, memiliki perasaan yang lebih dekat dengan pasangan dibandingkan dengan mereka yang tidak. Poinnya adalah pasangan merasakan kedekatan yang lebih ketika mereka terlibat dalam aktivitas yang lucu bersama. Jadi, tidak ada salahnya komunikasi dengan pasangan selama LDR ini disisipi dengan cerita-cerita lucu, bukan?
Selain itu…
Ada beberapa hal lain yang perlu diperhatikan dalam menjalin hubungan dengan pasangan. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Creasy dkk. pada tahun 2013, Perhatian yang diberi ketika menjalankan hubungan LDR online, seperti menghabiskan waktu bersama melalui chat atau telepon, memengaruhi kepuasan hubungan secara positif. Tetapi, perlu diingat bahwa metode komunikasi mempengaruhi setiap orang secara berbeda-beda tergantung metode apa yang lebih cocok. Mungkin sebuah pasangan lebih nyaman berkomunikasi melalui telepon, ada yang lebih suka berkomunikasi lewat chat, bahkan ada juga yang memilih untuk berkomunikasi melalui email. Metode komunikasi yang sesuai bagi sebuah pasangan harus dicari tahu untuk mengetahui cara terbaik bagi mereka untuk berkomunikasi. Sánchez dkk. (2017) menemukan bahwa kepuasan hubungan dapat memengaruhi kualitas hubungan yang dilakukan secara online. Namun harus diperhatikan bahwa kualitas dan kepuasan tersebut akan berbeda-beda untuk setiap pasangan tergantung dengan beberapa faktor seperti umur, jenis kelamin, dan lama dari hubungan tersebut.
Daftar Referensi
Algoe, S. B., & Kurtz, L. E. (2015). Putting laughter in context: Shared laughter as behavioral indicator of relationship well-being. Personal Relationships, 22, 573–590. doi:10.1111/pere.12095
Bazzini, D. G., Stack, E. R., Martincin, P. D., & Davis, C. P. (2007). The effect of reminiscing about laughter on relationship satisfaction. Motivation and Emotion, 31, 25–34. doi:10.1007/s11031-006-9045-6
Creasy, B., Gentzler, A., Morey, J., Oberhauser, A. and Westerman, D., 2013. Young adults’ use of communication technology within their romantic relationships and associations with attachment style. Computers in Human Behavior, 29(4), pp.1771-1778
Dargie, E., Blair, K. L., Goldfinger, C., & Pukall, C. F. (2015). Go long! Predictors of positive relationship outcomes in long-distance dating relationships. Journal of sex & marital therapy, 41(2), 181-202.
Drapeau, A., Marchand, A., & Beaulieu-Prevost, D. (2012). Epidemiology of Psychological Distress. Mental Illnesses – Understanding, Prediction and Control. doi: 10.5772/30872
Hall, J. A. (2017). Humor in romantic relationships: A meta-analysis. Personal Relationship, 24(2), 306-322. doi: 10.1111/pere.12183
Muñoz-Fernández, N., Ortega-Ruiz, R. and Sánchez, V., (2017). Romantic Relationship Quality in the Digital Age: A Study with Young Adults. The Spanish Journal of Psychology, 20.
Neustaedter, Carman & Greenberg, Saul. (2012). Intimacy in Long-Distance Relationships over Video Chat. Proceedings of the SIGCHI Conference on Human Factors in Computing Systems. 10.1145/2207676.2207785.
Pistole, M. C., Roberts, A., & Chapman, M. L. (2010). Attachment, relationship maintenance, and stress in long distance and geographically close romantic relationships. Journal of Social and Personal Relationships, 27(4), 535–552. https://doi.org/10.1177/0265407510363427
Waterman, E. A., Wesche, R., Leavitt, C. E., Jones, D. E., & Lefkowitz, E. S. (2017). Long- Distance Dating Relationships, Relationship Dissolution, and College Adjustment. Emerging Adulthood, 5(4), 268–279. https://doi.org/10.1177/2167696817704118
Oleh:
Departemen Riset dan Keilmuan
0 Comments