Latar Belakang

Pada 2020 silam, publik sempat ramai terkait kasus perseteruan antara seorang praktisi psikologi, Dedy Susanto (DS), dan seorang selebgram, Revina. Revina melaporkan DS ke polisi atas dugaan tindakan penipuan sebagai psikolog gadungan dan pelecehan seksual terhadap para kliennya saat melakukan praktik. DS diduga melakukan praktik Psikologi di luar kewenangannya sebagai Doktor Psikologi. Hal ini tentu melanggar Kode Etik Psikologi Indonesia, yang menyatakan bahwa DS, meskipun memiliki gelar Doktor Psikologi, termasuk ilmuwan Psikologi dan tidak boleh melakukan praktik Psikologi (Fahmi, 2020). Akan tetapi, meskipun tindakannya dianggap tidak etis oleh banyak profesional kesehatan mental, apa yang dilakukannya tidak dapat disalahkan atau dituntut karena belum adanya payung hukum yang mengatur tentang hal tersebut.

Ironisnya, kasus tersebut bukanlah yang pertama terjadi karena jika ditarik mundur terdapat pula kasus yang menyangkut profesi psikolog. Pada 2013, terdapat kasus yang menyeret psikolog Sherly Solihin dan klinik ICAC Professional Service. Seorang klien berkewarganegaraan asing menggugat mereka ke pengadilan negeri karena secara ilegal menyebarkan hasil konselingnya yang seharusnya dijaga kerahasiaannya dan terdapat pula beberapa hal yang tidak sesuai dengan fakta ketika konseling dilakukan (Diputra, 2013). Dua peristiwa ini memberikan gambaran bahwa diperlukan sebuah peraturan hukum tertentu yang mengatur tentang profesi psikolog.

 

Gambaran Isi RUU Praktik Psikologi

Praktik Psikologi adalah tindakan psikologis yang dilakukan oleh tenaga Psikologi meliputi asesmen psikologis, evaluasi psikologis, menetapkan diagnosa atau kesimpulan permasalahan sebagai dasar untuk melakukan intervensi psikologis dengan menerapkan prinsip, metode, dan prosedur Psikologi. Penjelasan mengenai praktik psikologi tersebut tertuang dalam RUU Praktik Psikologi yang dapat diakses melalui laman resmi HIMPSI. Dalam rancangan undang-undang ini disebutkan juga mengenai menempatkan sumber daya manusia Indonesia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, berkualitas, serta memiliki daya saing yang tinggi dalam pembangunan nasional secara benar, tepat, dan terarah, perlu melibatkan keikutsertaan tenaga psikologi secara profesional dan bertanggung jawab dalam satu penyelenggaraan praktik psikologi. Selain itu, RUU ini menimbang pula mengenai pengaturan praktik psikologi yang masih tersebar dalam perundang-undangan yang ada. Sejalan dengan pernyataan Ibu Tri Hayuning Tyas, S.Psi., M.A., Psikolog, seorang Dosen Psikologi UGM (dalam wawancara, 17 April 2021), bahwa peraturan mengenai psikologi klinis sendiri masih diatur dan menyatu dalam peraturan Kemenkes sehingga hal ini belum memberikan perlindungan dan kepastian hukum secara menyeluruh untuk bidang psikologi lain. Dengan demikian, pertimbangan tersebut merupakan dasar tujuan untuk membentuk Undang-Undang tentang Praktik Psikologi di Indonesia.

Berdasarkan tujuan yang telah dikemukakan di atas, sejauh ini, rancangan undang-undang mengenai profesi psikologi di Indonesia telah melalui berbagai tahapan diskusi. Melalui laman resmi HIMPSI, RUU Praktik Psikologi di Indonesia edisi 30 Juni 2020 memiliki total 12 Bab, 67 Pasal, 168 Ayat, dan Penjelasan. Dua belas bab ini berisi mengenai Ketentuan Umum, Praktik Psikologi, Standar Praktik Psikologi, Hak dan Kewajiban, Uji Kompetensi Berkelanjutan, Organisasi Profesi, Pembinaan, Ketentuan Pidana, Ketentuan Peralihan, dan Ketentuan Penutup.

 

Perjalanan RUU Praktik Psikologi

RUU Praktik Psikologi telah melalui perjalanan yang cukup panjang, hingga pada tahun 2020 lalu, RUU Praktik Psikologi ini masuk dalam 50 daftar RUU Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas. Hal ini menjadi prestasi tersendiri yang patut diapresiasi bagi kepengurusan HIMPSI periode ini karena telah berhasil memasukkan isu praktik psikologi kedalam kerja prioritas DPR. Sebelum menjadi versi yang terbaru, yaitu versi 30 Juni 2020, terdapat banyak versi draft RUU. Menurut Ibu Tri Hayuning Tyas, yang biasa dipanggil Ibu Nuning (dalam wawancara, 17 April 2021), hal ini disebabkan karena draft RUU telah dikonsultasikan ke banyak pihak pada berbagai kesempatan sehingga didapatkan rancangan yang berbeda pada setiap rapat atau pertemuan. Status RUU Praktik Psikologi pada tahun 2021 ini adalah telah disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk masuk ke dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2021 bersama dengan 32 RUU lainnya pada rapat paripurna, Selasa (23/3/2021).

 

Mengapa RUU ini Perlu Secepatnya Disahkan?

Menurut Ibu Dr. Maria Goretti Adiyanti, Psikolog., seorang Dosen Psikologi UGM, psikologi di Indonesia dan pendidikan psikologi di Indonesia telah berusia puluhan tahun, serta telah meluluskan banyak sarjana, psikolog, maupun lulusan S2 dan S3 Psikologi. RUU Praktik Psikologi akan memberikan pengakuan pada profesi psikologi selayaknya profesi lain dan akan membuka jalan untuk pengakuan dari negara lain terhadap psikolog Indonesia.

Kebutuhan akan RUU Praktik Profesi Psikologi menjadi semakin penting mengingat kesadaran kesehatan mental dan kebutuhan fasilitas kesehatan mental yang berkaitan dengan praktik psikologi semakin meningkat. Diperlukan adanya jaminan yang jelas secara de facto maupun de jure, atau ketegasan dari negara, untuk pemberi layanan dan pengguna layanan psikologi tersebut. Menurut Ibu Nuning, seorang psikolog melalui keputusannya dalam berbagai bidang, memengaruhi nasib seseorang. Akan tetapi, pada realitanya, tidak ada dasar yang mengatakan bahwa seorang psikolog berhak dan mampu untuk melakukan hal tersebut. Selain itu, dalam praktiknya, baik psikolog maupun profesi psikologi banyak bersinggungan dengan bidang lain, misalnya dalam urusan forensik. Diperlukan juga sebuah dasar yang memperjelas wewenang psikolog agar tidak terjadi benturan dengan bidang lain.

Sebagai seorang psikolog dan dosen, Ibu Nuning merasa bahwa dibutuhkan perlindungan yang lebih besar bagi pemberi layanan psikologi, terlepas dari psikolog yang praktik dalam klinik. Misalnya, dalam Psychological First Aid (PFA) yang mulai dikenal di Indonesia sekitar tahun 2004. Pada dasarnya, pada PFA, bisa jadi seorang penolong pertama melakukan kesalahan yang berpotensi memperburuk kondisi klien. Permasalahannya adalah apakah penolong pertama tersebut dapat diperkarakan atau tidak. Isu ini jarang muncul karena yang menjadi fokus utama PFA adalah kemanusiaan. Secara umum, Ibu Nuning merasa negara butuh hadir untuk melindungi praktik psikologi Indonesia yang bermartabat, bertanggung jawab, dan dapat memberikan keamanan bagi para penggunanya. Perlu diketahui juga, menurut Ibu Maria, saat ini telah ada psikolog asing yang memberikan layanan di Indonesia. UU Praktik Psikologi dibutuhkan untuk melindungi psikolog Indonesia dari psikolog asing.

Adanya UU Praktik Profesi Psikologi secara khusus juga akan berfungsi untuk memberikan peraturan yang jelas atas kemungkinan terjadinya malapraktik dan juga memperjelas batasan serta peran atau pihak yang dimaksud dalam profesi psikologi. Hal ini sejalan dengan fungsi hukum di masyarakat yang mengikat dan berfungsi sebagai integrator yang dapat mengurangi terjadinya konflik serta memperlancar proses interaksi pergaulan sosial. Hukum juga berfungsi sebagai sarana pembaharuan dalam arti merubah sikap mental masyarakat (Haryanti, 2014). Adanya jaminan melalui hukum akan memberikan ruang bagi pelaku praktik psikologi melaksanakan tugas dan wewenangnya secara maksimal. Di samping itu, jaminan akan pelayanan kesehatan mental sejalan dengan tujuan Sustainable Development Goals point ketiga tentang kesehatan yang baik dan kesejahteraan (Sustainable Development Goals, 2017).

 

Kesimpulan

Beberapa peristiwa yang telah terjadi di Indonesia memberikan gambaran bahwa diperlukan peraturan khusus yang mengatur tentang profesi psikologi dan praktik psikologi di Indonesia. Masuknya RUU Praktik Psikologi dalam daftar Prolegnas 2021 menandakan bahwa telah ada perhatian pada isu tersebut. Sehingga diharapkan dapat memberikan perlindungan dan kepastian hukum secara menyeluruh pada pemberi dan pengguna layanan.

Praktik dan profesi psikologi seringkali memengaruhi kehidupan seseorang maka perlu ada dasar yang jelas bahwa psikolog berhak dan mampu untuk memutuskan sesuatu yang terkait dengan wewenangnya. Dengan adanya UU ini maka diharapkan adanya pengaturan yang jelas terkait dengan hak, kewajiban, serta kewenangan psikolog sehingga lebih menjamin kesejahteraan para psikolog, contohnya, dalam hal pemberian perlindungan terkait pemberian jasa psikologi.

Begitu pula dengan klien. Klien pun mendapat perlindungan karena pihak-pihak yang boleh melakukan praktik psikologi dan memberikan jasa psikologi sudah diatur dengan jelas dalam UU. Harapannya, tidak ada lagi masyarakat yang mengalami malapraktik karena UU ini dapat menjerat pihak-pihak yang membuka praktik yang bukan wewenangnya. Selain itu, saat melakukan intervensi di ranah hukum dan politik, psikolog akan banyak berdinamika dengan profesi lain sehingga diperlukan batas yang jelas mengenai wewenang psikolog sesuai dengan kompetensinya. Terlepas dari urgensi disahkannya RUU Praktik Psikologi, masih terdapat bagian-bagian yang kurang dan harus diperbaiki.

 

Referensi 

Diputra, Rizka. (2013, 2 Oktober). Diduga Langgar Kode Etik, Psikolog Digugat ke PN Jaksel : Okezone News. Dikutip melalui https://news.okezone.com/read/2013/10/02/500/875317/diduga-langgar-kode-etik-psikolog-digugat-ke-pn-jaksel

Fahmi, L. (2020, 19 Februari). Kasus Dedy Susanto dan Lemahnya Regulasi Praktik Psikologi. Dikutip melalui https://news.detik.com/kolom/d-4905305/kasus-dedy-susanto-dan-lemahnya-regulasi-praktik-psikologi

Haryanti, T. (2014). Hukum dan Masyarakat. Jurnal: tahkim. Vol. X No.2, hal 1160-167. Dikutip melalui https://d1wqtxts1xzle7.cloudfront.net/62106153/11-Tuti_Haryanti20200215-105153-1lym08a.pdf?1581775392=&response-content-disposition=inline%3B+filename%3DHUKUM_DAN_MASYARAKAT.pdf&Expires=1618761775&Signature=WxPXpmuAVazdJRTaVNE4kt-WgoEA5HE~jgxyRZmQ5TS1z2qOECnJMuc3twcQJAJcJR2Ym58Kb-kVGOa2wSaZH-HQQClRgbmvVs-3~3fpX5NqZXyq23ATcfTTN1oamUc515CZeYcwtxr7jULbBu40PSdsFoAnYcwdj6pj9SrDawST30MIkE-Ss6xV~go3EYOBJeJ5wQxFZC6a1wylBrLAUCrmlMDpuSBCd9pAmrgpblqkVdczKbH3B4AxOtBJpdYt-zuho14pmshO~PamQXCegcFNBbi~1kr5ctLTELQggnocduVgI-rQi7~vF55m92~DIKiK~X2Kw8vjRTswKna1Qg__&Key-Pair-Id=APKAJLOHF5GGSLRBV4ZA

RUU Psikologi. Himpunan Psikologi Indonesia. Dikutip melalui https://himpsi.or.id/ruu-psikologi

Sustainable Development Goals. (2017). Retrieved from https://www.sdg2030indonesia.org/

 

Oleh:

Departemen Kajian Strategis

 

 

Categories: Artikel

0 Comments

Leave a Reply

Avatar placeholder

Your email address will not be published.