Digulati selama bertahun-tahun, kekerasan seksual masih menjadi pergumulan bangsa Indonesia hingga kini. Saat ini, menurut siaran pers Komnas Perempuan tentang Catatan Tahunan (CATAHU) 2022, tercatat sebanyak 338.496 kasus kekerasan seksual yang telah diadukan pada tahun 2021. Menurut data CATAHU 2021 Komnas Perempuan, dalam kurun 10 tahun terakhir (2010-2020), angka kekerasan seksual terhadap perempuan banyak mengalami peningkatan, mulai dari 105.103 kasus pada tahun 2010 hingga mencapai 299.911 kasus pada tahun 2020 atau rata-rata kenaikan 19,6% per tahunnya. Hanya pada tahun 2015 dan 2019, angka tersebut mengalami sedikit penurunan, yaitu masing-masing sebanyak 10,7% dan 22,5% kasus.

Kekerasan seksual dapat terjadi di mana saja, termasuk dalam lingkup pendidikan. Di antara berbagai jenjang pendidikan, perguruan tinggi menempati urutan pertama dalam hal terjadinya kasus kekerasan seksual terbanyak antara tahun 2015-2021 (Komnas Perempuan, 2021). Sebagai kota pelajar di Indonesia, Yogyakarta memiliki track-record yang mengkhawatirkan terkait kekerasan seksual. Dilansir dari Warga Jogja Net (2021), angka kekerasan seksual yang diterima LBH Yogyakarta sejak Maret 2020 hingga April 2021 sebanyak 42 kasus dan LSM Rifka Annisa WCC, sejak Januari-April 2021, juga menerima aduan kekerasan seksual sebanyak 350 kasus yang terjadi di DIY. Data tersebut tidak serta merta menjadi data keseluruhan kekerasan seksual yang terjadi karena, berdasarkan survei yang dilakukan oleh Kemendikbud Ristek pada tahun 2020 di 29 kota pada 79 kampus, terdapat 63% kasus kekerasan seksual yang tidak dilaporkan semata-mata untuk tetap menjaga nama baik kampus (VOA Indonesia, 2022). Bagaimana masyarakat dan pemerintah menyikapi keadaan ini menjadi pertanyaan yang perlu menjadi perhatian kita untuk menyelesaikan masalah kekerasan seksual.

Penyebab

Menurut pandangan Foucault (dalam Gordon, 2018), kekerasan seksual dapat terjadi karena adanya variabel penting, seperti kekuasaan, konstruksi sosial, dan target kekuasaan. Jika ketiga variabel tersebut disatukan, maka dapat menimbulkan suatu intensi terjadinya kasus kekerasan seksual. Apabila salah satu dari ketiganya ada yang tidak muncul, maka tindak kekerasan seksual tidak akan terjadi. Oleh karena itu, terdapat beberapa penyebab terjadinya kasus kekerasan seksual di kampus, yakni sebagai berikut:

  1. Budaya patriarki yang mengakar kuat di Indonesia

Adanya budaya patriarki menciptakan stereotip tertentu terhadap perempuan yang menyebabkan kekerasan seksual dapat terjadi. Dalam paradigma feminisme radikal, patriarki dianggap sebagai bentuk penindasan laki-laki terhadap perempuan yang paling mendasar. Perempuan dianggap sebagai properti milik laki-laki, yang harus dapat diatur sedemikian rupa, baik dalam berperilaku maupun berpakaian (Soejoeti & Susanti, 2020). Ditambah lagi, patriarki juga menempatkan perempuan tidak setara dalam struktur masyarakat. Pernyataan ini didukung oleh Fushshilat dan Apsari (2020), bahwa sistem sosial patriarki menimbulkan kerugian bagi perempuan karena dianggap menghalalkan pelecehan seksual. Dengan kata lain, sudah menjadi tugas perempuan untuk dijadikan sebagai objek fantasi laki-laki. 

  1. Adanya relasi kuasa yang timpang antara pelaku dan korban kekerasan seksual

Relasi kuasa antara korban dan pelaku kekerasan seksual yang terjadi di perguruan tinggi menunjukkan bahwa pelaku memiliki kekuasaan yang lebih tinggi dibanding korban. Salah satu kekerasan seksual di perguruan tinggi adalah kasus yang dialami Ritika, tentu bukan nama sebenarnya, yang mendapat perbuatan tidak senonoh dosen pembimbingnya di taksi online yang mereka tumpangi setelah membicarakan ujian susulan pada Desember 2019  (Ferdianto, 2021). Adanya relasi kuasa yang timpang antara pelaku dan korban kekerasan seksual membuat korban memiliki ketakutan untuk melapor (Elindawati, 2021).

  1. Budaya victim-blaming yang banyak terjadi sebelumnya 

Menurut Sophia Hage (DW, 2016), direktur kampanye di Lentera Sintas, ada stigma sosial bahwa isu kekerasan seksual merupakan isu yang tabu untuk dibicarakan. Hal ini menjadi salah satu sinyal bahwa ketika korban berani melaporkan justru masyarakat menyalahkan korban atas kejadian yang menimpanya (victim blaming). Anggapan tersebut juga didukung oleh hasil survei yang dilakukan Statista pada tahun 2020 tentang faktor penyebab terjadinya pelecehan seksual di Indonesia, yaitu perilaku genit yang dilakukan oleh korban dan persepsi bahwa penggunaan baju yang cenderung terbuka oleh korban dapat mendorong terjadinya perilaku pelecehan. Melalui data tersebut, terlihat bahwa masih adanya budaya victim-blaming yang dilakukan oleh masyarakat Indonesia.

Kekerasan seksual bukanlah masalah yang hanya dapat dipahami dari penyebab dan penanganannya, tetapi perlu juga untuk kita mengerti tantangan yang ada dalam penanganannya. Berikut ini beberapa penyebab kurangnya pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di kampus:

  1. Mahasiswa masih kurang memahami konsep kekerasan seksual.

Penelitian yang dilakukan oleh Fitri dkk. (2021) mengungkapkan bahwa sebagian besar mahasiswa masih berada pada tahap awal dalam kesadaran dan pemikiran kritis akan isu kekerasan seksual. Salah satu bentuk kekerasan seksual, seperti penggunaan istilah seksis yang membuat tidak nyaman dan memberi komentar terhadap orang dengan istilah seksual yang merendahkan, masih cenderung mudah diabaikan atau kurang dipahami oleh mahasiswa (Alpian, 2022). Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Rusyidi dkk. pada tahun 2019 (dalam Alpian 2022), terdapat lima bentuk perilaku pelecehan seksual yang masih kurang dipahami oleh mahasiswa, yakni bergurau dengan menggunakan istilah-istilah seksis yang membuat tidak nyaman, memaksa seseorang menonton tayangan pornografi, memberi komentar terhadap seseorang dengan istilah seksual yang merendahkan, melakukan masturbasi di hadapan orang lain, dan tatapan tidak diinginkan ke wilayah kelamin pria. Hal ini mengakibatkan rendahnya potensi mahasiswa untuk melakukan critical reflection, political efficacy, dan critical action untuk menghadapi isu kekerasan seksual. Kasus yang lumrah terjadi adalah korban yang tidak menyadari atau bingung dengan kondisi yang dialaminya tergolong dalam kasus kekerasan seksual atau bukan (Munir, 2021).

  1. Minimnya laporan atas kekerasan seksual.

Fenomena ini akrab disebut dengan istilah fenomena gunung es (iceberg phenomenon), yakni kasus yang ada di permukaan belum tentu mencerminkan jumlah kasus sebenarnya yang terjadi karena dapat dipastikan masih banyak kasus yang tidak terlaporkan atau diadvokasi oleh pihak kampus (BEM BIMA FIKOM UNPAD, 2020). Dengan demikian, data yang ada cenderung terbatas pada data yang memang dilaporkan oleh korban pada pihak-pihak tertentu yang menangani kasus kekerasan seksual (Salampessy dalam VOI, 2021).

  1. Pihak kampus yang menutupi kasus kekerasan seksual.

Penelitian yang dilakukan Fitri dkk. (2021) pun mengungkapkan beberapa kasus atau kejadian kekerasan seksual di kampus, tetapi kasus yang ada cenderung ditutup-tutupi oleh pihak kampus. Alasan utamanya adalah untuk mempertahankan reputasi yang dimiliki oleh kampus. Di Indonesia, tendensi suatu institusi melakukan hal tersebut cenderung dipengaruhi oleh aspek agama dan budaya (Istiadah, dkk., 2020). Alhasil, institusi tersebut pun cenderung menunjukkan support yang terbatas dan korban pun cenderung termotivasi untuk diam agar dapat melindungi dirinya dan institusinya. Hal ini memunculkan kemungkinan terbentuknya kepercayaan atau pola pikir warga kampus bahwa kekerasan seksual tidak mungkin terjadi di lingkungan kampus karena merasa bahwa lingkungan tersebut sudah dinilai aman. Akan tetapi, lingkungan kampus yang justru menjadi tempat rawan terjadinya kekerasan seksual (Nurmila dalam Dianti, 2021). 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Alpian, R. (2022). Perlindungan Hukum Bagi Korban Tindak Pidana Kekerasan Seksual Di Perguruan Tinggi. Jurnal Lex Renaissance, 7(1), 69–83. https://doi.org/10.20885/jlr.vol7.iss1.art6

 

Andriansyah, A. (2022, April 12). Komnas Perempuan: Kasus Kekerasan Seksual Di Lingkungan Pendidikan, paling Tinggi Di Universitas. VOA Indonesia. https://www.voaindonesia.com/a/komnas-perempuan-kasus-kekerasan-seksual-di-lingkungan-pendidikan-paling-tinggi-di-universitas/6525659.html

 

BEM BIMA FIKOM UNPAD. (2020, May 27). Kekerasan Seksual di Kampus: Bagaimana Seharusnya Unpad Menangani Kasus Kekerasan Seksual di Lingkungannya?. Aksinergi. http://bem.fikom.unpad.ac.id/kekerasan-seksual-di-kampus-bagaimana-seharusnya-unpad-menangani-kasus-kekerasan-seksual-di-lingkungannya/

 

  1. (2017, July 26). 90 Persen Korban Pemerkosaan di Indonesia Bungkam. https://www.dw.com/id/90-persen-korban-pemerkosaan-di-indonesia-bungkam/a-19427038

 

Dianti, T. (2021, November 17). Regulasi Dinilai Tak Cukup Redam Kekerasan Seksual di Kampus. DW.COM. https://www.dw.com/id/kekerasan-seksual-di-kampus/a-59838953

 

Elindawati, R. (2021). Perspektif Feminis dalam Kasus Perempuan sebagai Korban Kekerasan Seksual di Perguruan Tinggi. AL-WARDAH: Jurnal Kajian Perempuan, Gender dan Agama, 15(2), 181-193.

 

Fitri, A., Haekal, M., Almukarramah, A., & Sari, F. M. (2021). Sexual violence in Indonesian University: On students’ critical consciousness and agency. Gender Equality: International Journal of Child and Gender Studies, 7(2), 153. https://doi.org/10.22373/equality.v7i2.9869

 

Ferdianto, R. (2021, November 20). Predator Seks di Kampus Kita. Majalah Tempo. https://majalah.tempo.co/amp/laporan-utama/164629/bagaimana-pelecehan-seksual-terjadi-di-ui-dan-ugm#aoh=16524515648427&referrer=https%3A%2F%2Fwww.google.com&amp_tf=Dari%20%251%24s 

 

Fushshilat, S., & Apsari, N. (2020). Sistem Sosial Patriarki sebagai Akar dari Kekerasan Seksual Terhadap Perempuan Patriarchal Social System as the Root of Sexual Violence Against Women. Prosiding Penelitian Dan Pengabdian Kepada Masyarakat, 7(1), 121. doi: 10.24198/jppm.v7i1.27455

 

Gordon, Harriet. (2018). A Foucauldian-Feminist Understanding of Patterns of Sexual Violence in Conflict. The Philosophical Journal of Conflict and Violence. DOI: 10.22618/TP.PJCV.20182.1.171002.

 

Harera, M. M. (2022, March 7). Violence Against Women Is Like An Iceberg Phenomenon. VOI – Waktunya Merevolusi Pemberitaan. https://voi.id/en/berita/142396/kekerasan-terhadap-perempuan-bagaikan-fenomena-gunung-es

 

Istiadah, I., Rosdiana, A. M., Fitriani, L., & Sulalah, S. (2020). Strategies for Combating Sexual Harassment in Islamic Higher Education. AHKAM : Jurnal Ilmu Syariah, 20(2). https://doi.org/10.15408/ajis.v20i2.15412

 

Komnas Perempuan. (2021, September 22). CATAHU 2021: Perempuan Dalam Himpitan Pandemi: Lonjakan Kekerasan Seksual, Kekerasan Siber, Perkawinan Anak Dan Keterbatasan Penanganan Di Tengah Covid-19. Komnas Perempuan. https://drive.google.com/file/d/1M6lMRSjq-JzQwiYkadJ60K_G7CIoXNoF/view

 

Komnas Perempuan. (2022, March 8). Siaran pers Bayang-Bayang Stagnansi: Daya Pencegahan dan Penanganan Berbanding Peningkatan Jumlah, Ragam dan Kompleksitas Kekerasan Berbasis Gender terhadap Perempuan. Komnas Perempuan. https://komnasperempuan.go.id/download-file/728

 

Millah, A. (2021, June 8). Kekerasan Seksual Di Yogyakarta Meningkat Selama Pandemi. Warga Jogja. https://wargajogja.net/sosial/kekerasan-seksual-di-yogyakarta-meningkat-selama-pandemi.htm

 

Munir, M. (2021, November 13). Kekerasan Seksual di Kampus Bagai Fenomena Gunung Es. Metro Pagi Primetime. https://www.medcom.id/nasional/peristiwa/RkjWxeRK-kekerasan-seksual-di-kampus-bagai-fenomena-gunung-es

 

Novianti P, U. Z., Arifah, R., Cecep, C., & Humaedi, S. (2018). Mengatasi Dan mencegah tindak kekerasan seksual pada perempuan dengan pelatihan asertif. Prosiding Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat, 5(1), 48. https://doi.org/10.24198/jppm.v5i1.16035

 

Sucahyo, N. (2022, January 12). Kekerasan seksual tersembunyi di ruang-ruang kampus. VOA Indonesia. https://www.voaindonesia.com/a/kekerasan-seksual-tersembunyi-di-ruang-ruang-kampus-/6392176.html 

 

Soejoeti, A. H., & Susanti, V. (2020). Memahami Kekerasan Seksual dalam Menara Gading Di Indonesia. Community : Pengawas Dinamika Sosial, 6(2), 207. https://doi.org/10.35308/jcpds.v6i2.2221

 

Categories: Artikel

0 Comments

Leave a Reply

Avatar placeholder

Your email address will not be published.