Banyaknya isu kekerasan seksual di kampus yang mencuat ke ranah publik menimbulkan keprihatinan masyarakat (Khafsoh dkk., 2021). Ditambah lagi, kurangnya proses pelaporan kekerasan seksual pada setiap kampus disebabkan adanya relasi kuasa dan minimnya pengetahuan mengenai bentuk, mekanisme pelaporan, dan penanganan kekerasan seksual (Khafsoh dkk., 2021). Oleh karena itu, dengan menginisiasi program sosialisasi tindak kekerasan seksual di kampus merupakan salah satu bentuk kepedulian kampus terhadap mahasiswa (Khafsoh dkk., 2021). Selanjutnya, mengenai pentingnya program sosialisasi terkait penanganan kekerasan seksual kepada mahasiswa dibentuk agar mahasiswa mampu memahami tentang proses pengaduan di lingkungan kampus dan lembaga yang menangani hingga pada pencegahan yang bisa dilakukan pihak kampus (Khafsoh dkk., 2021). Langkah ini sangat penting guna memberikan pemahaman dan partisipasi mahasiswa agar turut andil dalam rangka mengurangi kekerasan seksual di kampus dan sekaligus melindungi mahasiswa agar tidak menjadi korban kekerasan seksual baik di kampus maupun di luar kampus (Khafsoh dkk., 2021). 

Program-program yang dibuat secara komprehensif sekalipun, baik untuk pencegahan maupun penanganan tidak akan berguna apabila masyarakat tidak mengetahui keberadaan program-program tersebut. Oleh karena itu, publikasi yang informatif dan aksesibel mengenai isu- isu kekerasan seksual beserta program- program bantuan terkait sama pentingnya dengan pembuatan program- program itu sendiri. Berkaca dari hasil riset Departemen Riset dan Keilmuan LM Psikologi UGM, sebanyak 10% responden menyarankan pihak fakultas untuk menggencarkan edukasi melalui penyebaran poster atau pamflet secara langsung maupun melalui media sosial untuk mencegah dan menanggapi isu kekerasan seksual. Tidak hanya itu, kampus juga dapat dengan tegas melakukan publikasi mengenai budaya kampus sebagai ruang aman yang tidak akan menoleransi adanya tindakan kekerasan seksual. 

Penanganan kekerasan seksual selalu dimulai dengan kesadaran dan keberanian untuk melapor. Peran institusi penting dalam hal ini karena penciptaan regulasi dan alur teknis sangat ditentukan oleh jajaran petinggi institusi yang dalam konteks esai ini adalah pihak universitas dan pihak fakultas. Dalam hal itu, kolaborasi hirarkis antara universitas dan fakultas membuat penanganan dapat menjadi lebih terstruktur demi menunjang kepentingan penyintas kekerasan seksual sehingga kolaborasi hirarkis tersebut sangat dibutuhkan keberadaannya (Güven dkk, 2022). Dengan mempertimbangkan pemahaman tersebut, Fakultas Psikologi UGM masih belum dapat mewujudkan kolaborasi hierarkis secara maksimal karena belum tersedianya Unit Layanan Terpadu (ULT) pada tingkat fakultas. Berdasarkan hasil riset Departemen RK LM Psikologi UGM (2022), sebanyak 68,3% menilai Fakultas Psikologi UGM belum memberikan evaluasi khusus terhadap isu kekerasan seksual. Pihak fakultas diharapkan membuat terobosan terbaru. Oleh karena itu, diperlukan suatu transfer-learning dari pihak universitas terhadap fakultas psikologi dalam membentuk ULT pada tingkat fakultas. Alur pelaporan dapat disamakan dengan ULT pada tingkat universitas, tetapi lebih disederhanakan sesuai dengan konteks fakultas agar tercapainya alur yang cepat dan efisien. Jika pada tingkat universitas menggunakan basis pelaporan surat elektronik yang mengharuskan adanya laporan tertulis, mungkin pada tingkat fakultas dapat membuka alur pelaporan berbasis telefon untuk memberikan opsi pelaporan secara verbal yang lebih ringan. Dalam hal

itu, dibutuhkan SDM yang mampu stand-by untuk menerima laporan tersebut. Opsi lain yang dapat dilakukan adalah penyediaan layanan on-site di mana fakultas berkewajiban menyediakan suatu ruangan khusus untuk menjadi tempat pelayanan aduan yang masuk ke ULT. Pihak fakultas dapat memberdayakan para mahasiswa magister psikologi profesi bidang klinis yang telah mempunyai pengalaman melakukan konseling. Hal tersebut dilakukan sebagai upaya memberikan psychological first aid (PFA) kepada korban. 

Tidak hanya mengenai alur pelaporan saja yang harus diperhatikan melainkan juga regulasi tertulis. Salah satunya yakni keterangan mengenai jangka waktu penanganan juga perlu dirincikan agar korban atau sivitas akademika dapat memetakan waktu yang mereka butuhkan dan pertolongan yang mereka dapatkan di dalamnya. Pada ULT tingkat universitas, terdapat keterangan “pelayanan awal” yang akan didapatkan paling lambat 3×24 jam setelah melapor. “Pelayanan awal” tersebut perlu dirincikan dan dielaborasikan agar korban atau sivitas akademika dapat memahami keuntungan yang dapat diperoleh sehingga lebih mendorong individu untuk lebih cepat melapor. Pihak universitas juga harus memastikan bahwa prosedur “pelayanan awal” yang diberikan dijamin kerahasiaannya serta berfokus untuk mendengarkan kronologi permasalahan dari sisi korban. Hal tersebut dilakukan sebagai upaya memberikan ruang aman, nyaman, dan terbuka bagi penyintas. Pernyataan tertulis mengenai mekanisme alur pelaporan dapat diberikan kepada penyintas sebagai media informasi dan jaminan bahwa fakultas berkomitmen untuk menindaklanjuti aduan yang masuk. Hal tersebut juga perlu dilakukan untuk memenuhi harapan 54,4% responden yang menginginkan prosedur penanganan yang elaboratif dan publikasi informasi yang rinci. Kemudian, tindak lanjut dari “pelayanan awal” adalah penanganan yang dapat dilakukan melalui asesmen terhadap kondisi penyintas, untuk selanjutnya menjadi pertimbangan dalam melakukan intervensi bagi pemulihan penyintas, baik secara psikologis maupun fisik. Berdasarkan hasil riset Departemen RK LM Psikologi UGM (2022), sebanyak 4% responden menyarankan agar pihak fakultas membentuk tim kerja khusus untuk mencegah dan menanggapi isu kekerasan seksual. Oleh karena itu, pihak fakultas dapat membentuk tim kerja yang khusus menangani kasus tertentu agar penanganan yang diberikan kepada penyintas lebih jelas, terfokus, dan tuntas. Penanganan yang dilakukan tidak hanya terbatas pada penyintas, namun juga harus menindak tegas terduga pelaku kekerasan seksual. Oleh karena itu, koordinasi dengan pihak berwajib sepatutnya menjadi langkah lanjutan dari aduan yang masuk. Secara spesifik, pihak berwajib yang dimaksud adalah lembaga kepolisian dan peradilan. Kedua lembaga ini dapat bermitra dengan Fakultas Psikologi UGM, salah satunya melalui program sosialisasi mekanisme alur pengaduan kasus kekerasan seksual. Tidak hanya itu, pengadaan kerjasama antara advokat dan pihak Fakultas Psikologi UGM untuk menindaklanjuti kasus kekerasan seksual, tampaknya menjadi urgensi yang dapat dipertimbangkan. Carmody dkk. (2009) menekankan pentingnya keberadaan advokat sebagai bagian dari crisis center penanganan kekerasan seksual di universitas. Advokat tidak hanya berperan menindaklanjuti kasus kekerasan seksual, tetapi juga merencanakan dan mengawasi program penanganan kekerasan seksual di universitas. 

Isu kekerasan seksual yang terjadi di lingkungan kampus dewasa ini menjadi perhatian masyarakat. Adanya berbagai kasus yang terjadi, pelaporan yang rendah karena berbagai faktor, hingga langkah penanganan yang kurang, menuntut berbagai pihak agar segera mengambil tindakan untuk menghadapi situasi ini, tanpa terkecuali Fakultas Psikologi UGM. Program sosialisasi mengenai tindak kekerasan seksual menunjukkan kepedulian pihak kampus terhadap seluruh civitas akademik di dalamnya. Berbagai saran diberikan guna menunjang keefektifan ketersediaan program pelayanan

termasuk pencegahan dan penanganan, seperti opsi pelaporan secara verbal yang lebih ringan, penyediaan layanan on-site dimana fakultas menyediakan suatu ruangan khusus tempat pelayanan, hingga masukan agar pihak fakultas membentuk tim kerja khusus. Penanganan penting untuk ditujukan kepada penyintas, tetapi adanya tindakan yang tegas terhadap pelaku juga tetap menjadi prioritas. Oleh karena itu, penting untuk dilakukan koordinasi dan kerja sama dengan pihak strategis lain, seperti lembaga peradilan dan kepolisian. 

 

Daftar Pustaka 

Carmody, D., Ekhomu, J., & Payne, B. K. (2009). Needs of sexual assault advocates in campus-based sexual assault centers. College Student Journal, 43(2), 507-514. https://link.gale.com/apps/doc/A201608568/AONE?u=anon~3ee71d5e&sid=googleScholar&xid =c020f424 

Güven, T., Kalfoglou, S., & Kalfoğlu, E. (2022). Sexual assault crisis center: The first interdisciplinary effort in Turkey. Sexual Abuse – An Interdisciplinary Approach. https://doi.org/10.5772/intechopen.104531 

Khafsoh, N. A., & Suhairi, S. PEMAHAMAN MAHASISWA TERHADAP BENTUK, PROSES, DAN PANDANGAN PENANGANAN KEKERASAN SEKSUAL DI KAMPUS. Marwah: Jurnal Perempuan, Agama dan Jender, 20(1), 61-75.

Categories: Artikel

0 Comments

Leave a Reply

Avatar placeholder

Your email address will not be published.