Latar Belakang 

Dalam beberapa tahun terakhir, angka kekerasan seksual terus mengalami peningkatan. Deputi Bidang Perlindungan Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA), Nahar, dalam webinar bertajuk “Percepatan Pengembangan PATBM di Masa Pandemi Covid-19 Tahap II”, menyebutkan sejak Januari hingga Juli 2020 terjadi peningkatan kekerasan pada anak yang didominasi oleh kekerasan seksual. Data tersebut berdasar pada data Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (Simfoni PPA). Jika dirincikan, angkanya mencapai 2.556 kasus (Mashabi, 2020). Konsultan Isu Gender, Tunggal Pawestri, mengungkapkan bahwa kekerasan berbasis gender telah meningkat sampai 63%, sedangkan kasus kekerasan berbasis gender online (KBGO) naik hampir 300% (Tanjung, 2021). Data ini juga didukung oleh Dokumen Rilis Pers SAFEnet 2021, yang menyebutkan pada masa pandemi COVID-19, angka KBGO mengalami peningkatan hingga tiga kali lipat.

Berdasarkan Catatan Tahunan Komnas Perempuan yang dirilis pada dirilis pada 5 Maret 2021, terdapat  940 kasus KBGO dari sebelumnya 281 kasus sepanjang 2020. Meskipun ruang lingkup interaksi di masa pandemi semakin terbatas secara ruang, tetapi bentuk kekerasan seksual tetap terjadi dalam bentuk online, seperti komentar seksis, serta penyebaran video dan foto tanpa izin. Dari survei online pada 315 responden selama 6 hingga 19 April 2020, sebanyak 86 orang responden mengalami pelecehan seksual selama WFH, 68 responden mengaku menyaksikan pelecehan seksual, dan 30 responden pernah menjadi korban dan saksi pelecehan seksual. Dilansir dari SAFEnet, sebanyak 78% korban pernah dilecehkan di dua sampai tujuh teknologi komunikasi sekaligus dalam jangka waktu satu bulan selama WFH. SAFEnet melalui Subdivisi Digital At-Risks (DARK), juga menyebutkan adanya peningkatan aduan kasus terkait penyebaran konten intim non-konsensual hingga hampir 400%. Sayangnya, kebanyakan kasus KBGO hanya dibiarkan berlalu begitu saja baik oleh korban maupun pihak lainnya, hanya 11% perempuan dan 5% laki-laki yang mendokumentasikan kejadian tersebut, hal ini dilansir dari CNN pada Desember 2020 lalu.

 Dalam buku panduan Memahami dan Menyikapi Kekerasan Berbasis Gender Online yang disusun oleh SAFEnet, Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO) merupakan kekerasan langsung pada seseorang yang didasarkan atas seks atau gender dan difasilitasi oleh teknologi (Kusuma & Arum, 2020). Selain itu, Fadillah Adkiras, ketua umum Serikat Mahasiswa Untuk Indonesia (SRIKANDI UII) dalam kajiannya, menyampaikan bahwa KBGO merupakan segala bentuk kekerasan yang bertujuan menyerang gender dan seksualitas baik orang atau pihak lain yang difasilitasi teknologi internet (Universitas Islam Indonesia, 2020). Dengan demikian, KBGO dapat diartikan sebagai bentuk kekerasan yang dilakukan seseorang kepada orang/pihak lain dengan menyerang seksualitas/gender dengan menggunakan fasilitas internet.

Selain menjelaskan pengertian dari KBGO, buku panduan yang disusun Kusuma & Arum (2020) di atas juga menjelaskan mengenai enam aktivitas yang dapat dikategorikan sebagai jenis kekerasan berbasis gender online, yakni

  1. Pelanggaran Privasi
  2. Pengawasan dan Pemantauan
  3. Perusakan Reputasi
  4. Online Harassment
  5. Ancaman dan Kekerasan
  6. Community Targeting

Aktivitas pertama, pelanggaran privasi, merupakan tindakan mengakses, menggunakan, memanipulasi, dan menyebarkan data, foto atau video, serta informasi dan konten pribadi tanpa sepengetahuan dan tanpa persetujuan pemiliknya, serta doxing atau menggali dan menyebarkan informasi pribadi seseorang dengan maksud untuk memberikan akses untuk tujuan jahat lainnya (misalnya: pelecehan atau intimidasi di dunia nyata). Kedua, pengawasan dan pemantauan berupa tindakan memantau, melacak dan mengawasi kegiatan online atau offline, menggunakan spyware atau teknologi lainnya tanpa persetujuan, menggunakan GPS atau geo-locator lainnya untuk melacak pergerakan target, serta menguntit atau stalking.

Selain kedua aktivitas tadi, perusakan reputasi/kredibilitas pun dapat masuk ke dalam KBGO yang dapat berupa tindakan membuat dan berbagi data pribadi yang salah (misal akun media sosial) dengan tujuan merusak reputasi pengguna, memanipulasi atau membuat konten palsu, mencuri identitas dan impersonasi (misal berpura-pura menjadi orang tersebut dan membuat gambar atau postingan yang berpotensi merusak reputasi orangnya dan membagikannya secara publik), menyebarluaskan informasi pribadi untuk merusak reputasi seseorang, membuat komentar atau postingan yang bernada menyerang, meremehkan, atau lainnya yang palsu dengan maksud mencoreng reputasi seseorang (termasuk pencemaran nama baik). Aktivitas KBGO juga dapat berupa online harassment, pelecehan berulang-ulang melalui pesan, perhatian, dan/atau kontak yang tidak diinginkan, ancaman langsung kekerasan seksual atau fisik, komentar kasar, ujaran kebencian dan postingan di media sosial dengan target pada gender atau seksualitas tertentu, penghasutan terhadap kekerasan fisik, konten online yang menggambarkan perempuan sebagai objek seksual, penggunaan gambar tidak senonoh untuk merendahkan wanita, dan menyalahgunakan, serta mempermalukan wanita karena mengekspresikan pandangan yang tidak normatif.

Aktivitas kelima yang termasuk KBGO adalah ancaman dan kekerasan langsung. Kegiatan ini berupa perdagangan perempuan melalui penggunaan teknologi, termasuk pemilihan dan persiapan korban (kekerasan seksual terencana), pemerasan seksual, pencurian identitas, uang, atau properti, serta peniruan atau impersonasi yang mengakibatkan serangan fisik. Aktivitas terakhir berupa serangan yang ditargetkan ke komunitas tertentu. Serangan yang dilakukan antara lain meretas situs web, media sosial, atau e-mail organisasi dan komunitas dengan niat jahat, pengawasan dan pemantauan kegiatan anggota komunitas/organisasi, ancaman langsung kekerasan terhadap anggota komunitas/organisasi, pengepungan (mobbing), khususnya ketika memilih target untuk intimidasi atau pelecehan oleh sekelompok orang, daripada individu, dan pengungkapan informasi yang sudah dirahasiakan, seperti alamat tempat penampungan.

 

Peningkatan KBGO

Peningkatan KBGO selama pandemi disebabkan oleh situasi dan kondisi yang mengharuskan setiap orang  untuk tetap tinggal di rumah saja sehingga semua kegiatan dan proses memperoleh informasi dilakukan secara daring. Situasi serba daring ini membuat sejumlah platform media sosial semakin eksis digunakan untuk kegiatan sehari-hari. Penyebab utama kasus ini semakin marak adalah platform media sosial yang tidak aman dan banyaknya akun yang tidak berlandaskan identitas asli. Dilansir dari Tempo (6/10/2020), insiden seperti doxing atau menggali dan menyebarkan informasi pribadi tanpa persetujuan untuk tujuan jahat dan intimidasi paling umum terjadi di facebook dengan 39%, lalu instagram 23%, whatsapp 14%, snapchat 10%, twitter 9%, dan tiktok 6%. Selain itu, identitas yang tidak asli dalam akun sosial media juga sangat menunjang seseorang untuk dapat melakukan KBGO. Para pelaku dengan bebas melakukan sebuah tindak kekerasan online ini mulai dari menghadirkan komentar bahkan sampai mengunggah ulang unggahan sasarannya. Para pelaku merasa aman karena kurangnya keamanan dalam media sosial

 

Dampak KBGO 

Dampak dari KBGO tetap tidak lebih ringan dibandingkan kekerasan seksual yang terjadi di dunia nyata (Prameswari, dkk., 2021). Dalam Buku Panduan KBGO yang disusun oleh SAFENet, dampak dari KBGO dapat diklasifikasikan menjadi lima jenis, yaitu kerugian psikologis, keterasingan sosial, kerugian ekonomi, mobilitas terbatas, dan sensor diri. Secara psikologis, orang yang menjadi korban dari KBGO akan merasa cemas, takut, atau bahkan mengalami depresi. Para penyintas KBGO juga cenderung menarik diri dari kehidupan sosial, termasuk dengan teman dan keluarga mereka sendiri. Hal ini disebabkan oleh munculnya rasa malu atas apa yang telah terjadi pada dirinya, terutama pada mereka yang foto atau videonya tersebar luar tanpa persetujuan dari mereka. Hal tersebut sejalan dengan studi yang dilakukan oleh Hanson (2017), bahwa kekerasan seksual secara online dapat berdampak pada depresi, perasaan putus asa, malu, hingga perilaku menyakiti diri sendiri dan menghindari hubungan dengan orang lain pada korban.

Selain dua dampak tersebut, para korban KBGO juga dapat menjadi pengangguran dan kehilangan penghasilan sebagai dampak dari kerugian ekonomi, serta dapat mengalami keterbatasan ruang untuk berpartisipasi dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk dalam pekerjaan (SAFEnet). Dampak yang terakhir adalah dampak traumatis, dilansir dari Buku Panduan KBGO, yaitu dampak yang membuat mereka kehilangan kepercayaan terhadap keamanan teknologi digital, yang membuat mereka menghapus diri dari internet. Apabila dibiarkan, hal tersebut dapat berdampak negatif pada korban, karena ia akan kehilangan akses informasi, layanan elektronik, dan komunikasi sosial atau profesional yang bisa diperoleh melalui internet.

 

Peran Pemerintah : RUU PKS

Dalam menghadapi kasus kekerasan seksual yang salah satunya berwujud KBGO, sudah seharusnya pemerintah dan negara menanggulangi masalah tersebut. Salah satu upaya pemerintah dalam menangani hal ini adalah dengan dibuatnya Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual atau RUU PKS. Sempat keluar dari Prolegnas 2020 (CNN, 2020), RUU PKS kembali masuk dalam daftar Prolegnas 2021 (BBC, 2021). Meskipun demikian, masih terdapat banyak polemik di masyarakat mengenai RUU PKS yang menyebabkan munculnya pro dan kontra terkait pengesahan RUU PKS ini.

Kusuma, Agnes, dkk. (2019), menjelaskan bahwa berbeda dengan RKUHP, semua kekerasan seksual dalam RUU PKS diberikan penjelasan yang memadai. Penjelasan atas jenis kekerasan seksual terdapat pada pasal 12 sampai 20 RUU PKS.

Definisi kekerasan seksual menurut RUU PKS adalah setiap perbuatan merendahkan, menghina, menyerang, dan/atau perbuatan lainnya terhadap tubuh, hasrat seksual seseorang, dan/atau fungsi reproduksi, secara paksa, bertentangan dengan kehendak seseorang, yang menyebabkan seseorang itu tidak mampu memberikan persetujuan dalam keadaan bebas, karena ketimpangan relasi kuasa dan/atau relasi gender, yang berakibat atau dapat berakibat penderitaan atau kesengsaraan secara fisik, psikis, seksual, kerugian secara ekonomi, sosial, budaya, dan/atau politik.

Korban kekerasan seksual memerlukan payung hukum yang memberi rasa keadilan. Di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), kekerasan seksual yang bisa dikategorikan sebagai tindak pidana hanya mencakup dua hal yaitu pemerkosaan dan pelecehan seksual atau pencabulan. Sementara dalam RUU PKS, kekerasan seksual diklasifikasikan menjadi sembilan jenis, yaitu: (1) pelecehan seksual, (2) eksploitasi seksual, (3) pemaksaan kontrasepsi, (4) pemaksaan aborsi, (5) perkosaan, (6) pemaksaan perkawinan, (7) pemaksaan pelacuran, (8) perbudakan seksual, dan (9) penyiksaan seksual.

Definisi kekerasan seksual yang lebih luas dalam RUU PKS akan mampu menjangkau para pelaku yang selama ini lolos dari hukum hanya karena tindakan mereka tak memenuhi unsur legalitas sebagai tindak pidana.

Menurut Wakil Ketua Badan Legislasi DPR RI, Willy Aditya, terdapat enam poin krusial yang terkandung dalam RUU PKS, Pasal 1 terkait definisi hasrat seksual; Pasal 12 terkait pelecehan fisik dan nonfisik; Pasal 15 tentang pemaksaan aborsi; Pasal 17 tentang pemaksaan perkawinan; Pasal 18 terkait pemaksaan pelacuran; dan Pasal 19 tentang perbudakan seksual (Tempo, 2021).

Banyaknya kasus kekerasan seksual yang telah terjadi di Indonesia menandakan bahwa ketegasan hukum yang mengatur mengenai hal ini masih belum terlaksana dengan baik. Maka dari itu, dengan adanya RUU PKS pemerintah diharapkan dapat memberikan kepastian hukum yang menyeluruh bagi para korban kekerasan seksual.

 

Message Appeals Sebagai Langkah Preventif

         Salah satu upaya yang ditawarkan sebagai bentuk kampanye mencegah KBGO adalah dengan message appeals atau daya tarik dari pesan yang disampaikan. Strategi yang dilakukan SAFEnet selama ini dominan dengan emotion appeals khususnya fear appeals. Mereka cenderung menyajikan infografis yang menstimulasi rasa takut apabila tidak melakukan hal yang benar, dalam hal ini berarti melakukan kekerasan. Akan tetapi, menurut penelitian, strategi tersebut hanya efektif ketika disertai dengan berita yang sedang hangat (Ratnasari, dkk., 2020). Fear appeals justru menjadi tantangan tersendiri karena dapat membuat audiens kurang nyaman dalam membacanya dan memancing respon defensif dari sebagian audiens. Oleh karena itu, SAFEnet dapat menggunakan daya tarik yang lebih humanis dengan metode storytelling kasus yang diangkat oleh penyintas. Kasus-kasus tersebut walaupun memang cukup sensitif, tetapi dapat diiringi dengan edukasi yang setimpal. Selain itu, membangun narasi positif dalam penyampaiannya dapat menggerakkan empati pembaca daripada sekadar menakuti-takuti.

 

Apa yang Harus Dilakukan Jika Mengalami KBGO?

Lalu, apa yang harus dilakukan jika kita menjadi salah satu korban KBGO? Berdasarkan Buku Panduan Memahami dan Menyikapi KBGO oleh SAFEnet, pertama, berusaha untuk mendokumentasikan hal yang terjadi pada diri. Hal ini akan membantu saat proses penyelidikan yang dilakukan oleh pihak kepolisian. Kedua, memantau situasi yang sedang dihadapi. Memantau situasi yang sedang berlangsung dan memutuskan cara-cara aman untuk melindungi diri dapat meminimalisasi dampak yang akan terjadi karena biasa terjadi pada beberapa orang yang mengalami KBGO sulit untuk mendokumentasikan kejadiannya. Ketiga, mencari bantuan. Hal ini dapat dilakukan dengan cara menghubungi individu lain, lembaga, organisasi, maupun institusi yang terpercaya. Salah satunya terdapat layanan pengaduan Komnas Perempuan. Langkah keempat, yakni melaporkan dan memblokir pelaku sehingga pelaku tidak dapat bersinggungan kembali dengan korban maupun orang lain.

 

Kesimpulan 

Selama pandemi COVID-19, Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO) telah mengalami peningkatan yang cukup signifikan. Hal ini dapat terjadi karena aktivitas sehari-hari yang didominasi oleh kegiatan daring. Meskipun terjadi di ranah online, dampak dari KBGO sama seriusnya seperti kekerasan seksual di dunia nyata. Korban KBGO dapat mengalami berbagai kerugian, seperti kerugian psikologis yang meliputi rasa takut, cemas, dan trauma; kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh kerentanan terhadap pengangguran dan kehilangan penghasilan; keterasingan sosial; keterbatasan mobilitas; dan sensor diri. Dengan semakin tingginya kasus KBGO, kehadiran RUU PKS diharapkan dapat menjadi payung hukum bagi para korban. Sementara itu, salah satu upaya pencegahan terjadinya KBGO dapat dilakukan melalui storytelling kasus penyintas. Dengan narasi positif yang dibangun, pembaca dapat lebih memiliki pengetahuan mengenai informasi terkait KBGO serta cara-cara untuk menghadapinya.

 

Daftar Referensi

Hanson, E. (2017). The impact of online sexual abuse on children and young people. Online Risk to Children, 97–122. https://doi.org/10.1002/9781118977545.ch6

Ini 6 Poin Krusial di RUU Penghapusan Kekerasan Seksual Versi Baleg DPR. Tempo. Retrieved from https://nasional.tempo.co/read/1442801/ini-6-poin-krusial-di-ruu-penghapusan-kekerasan-seksual-versi-baleg-dpr

Kusuma, E.& Arum, N. S. (2019). Memahami dan Menyikapi Kekerasan Berbasis Gender Online. SAFEnet. https://id.safenet.or.id/wp-content/uploads/2019/11/Panduan-KBGO-v2.pdf

Mashabi, S. (2020, Agustus 24). Kementerian PPPA: Sejak Januari hingga Juli 2020 Ada 2.556 Anak Korban Kekerasan Seksual. Kompas.com. Retrieved from https://nasional.kompas.com/read/2020/08/24/11125231/kementerian-pppa-sejak-januari-hingga-juli-2020-ada-2556-anak-korban

Pelecehan Online terhadap Perempuan Mendorong Mereka Keluar dari Medsos. Tempo. Retrived from https://www.tempo.co/dw/3451/pelecehan-online-terhadap-perempuan-mendorong-mereka-keluar-dari-medsos 

Prameswari, J. R. C., Hehanussa, D. J. A., Salamor, Y. B. (2021). Kekerasan Berbasis Gender di Media Sosial. PAMALI, 1(1), 55-61.

Ratnasari, E., Sumartias, S., & Romli, R. (2020). Penggunaan Message Appeals dalam Strategi Pesan Kampanye Anti Kekerasan Berbasis Gender Online. Jurnal Ilmu Komunikasi, 18(3), 352. doi:10.31315/jik.v18i3.3844

[Rilis Pers] Lawan KBGO yang Merajalela, Peran Aparat Penegak Hukum Perlu Ditingkatkan. SAFEnet. Retrieved from https://id.safenet.or.id/2021/03/lawan-kbgo-yang-merajalela-peran-aparat-penegak-hukum-perlu-ditingkatkan/

RUU PKS dicabut dari Prolegnas, Sejumlah Anggota DPR Protes. CNN. Retrieved from https://www.cnnindonesia.com/nasional/20200702154936-32-520109/ruu-pks-dicabut-dari-prolegnas-sejumlah-anggota-dpr-protes

Tanjung, E. (2021, Februari 11). Kekerasan Berbasis Gender Meningkat 63 Persen di Masa Pandemi. Suara.com. https://www.suara.com/news/2021/02/11/052500/kekerasan-berbasis-gender-meningkat-63-persen-di-masa-pandemi?page=all

Universitas Islam Indonesia. (2020, Agustus 10). Kekerasan Berbasis Gender di Dunia Maya Targetkan Kaum Hawa. https://www.uii.ac.id/kekerasan-berbasis-gender-di-dunia-maya-targetkan-kaum-hawa/

WFH Kala Pandemi Tingkatkan Pelecehan Seksual Online. CNN. Retrieved from https://www.cnnindonesia.com/gaya-hidup/20201209151208-284-580017/wfh-kala-pandemi-tingkatkan-pelecehan-seksual-online

WFH Rentan Pelecehan Seksual, Perusahaan Didesak Buat Protokol Anti Pelecehan Seksual. SAFEnet. Retrieved from https://id.safenet.or.id/2020/06/wfh-rentan-pelecehan-seksual-perusahaan-didesak-buat-protokol-anti-pelecehan-seksual/

Wijaya, C. (2021). RUU PKS masuk Prolegnas, pengesahannya ‘urgen karena ribuan penyintas tak bisa akses keadilan’. BBC. Retrieved from https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-56310194

 

Oleh:

Departemen Kajian Strategis

Categories: Artikel

0 Comments

Leave a Reply

Avatar placeholder

Your email address will not be published.