Komisi Pemilihan Umum (KPU) melaporkan bahwa pemilih pada Pemilu (pemilihan umum) 2024 didominasi oleh generasi Z dan milenial dengan proporsi 55% dari total pemilih—33,60% untuk generasi milenial dan 22,85% untuk generasi Z. Sebagai perbandingan, pemilih generasi muda di Pemilu 2014 hanya mencakup 30% dari total pemilih. KPU telah menetapkan 204,8 juta daftar pemilih tetap untuk Pemilu 2024 dengan 114 juta pemilih di antaranya masih berusia di bawah 40 tahun (BBC, 2023). Anak-anak muda yang mengisi lebih dari setengah jumlah pemilih ini akan berperan besar dalam menentukan iklim politik di Indonesia ke depannya.

Tak dapat dipungkiri bahwa para anak muda di pemilu kali ini terlihat memiliki pandangan yang lebih luas, sikap yang antusias, dan ketertarikan yang tinggi untuk berpartisipasi dalam kegiatan politik. Namun, apakah tingginya antusiasme dan ketertarikan tersebut berarti para anak muda benar-benar aware dengan pentingnya politik, pemilu, para calon, serta visi dan misi mereka? Kesadaran politik didefinisikan sebagai keadaan seseorang yang mengetahui tentang hal-hal, institusi, dan gagasan penting yang berhubungan dengan sistem politik (Lal, 2018). Pada abad yang penuh dengan perkembangan teknologi, generasi muda yang terkenal adaptif dengan perkembangan-perkembangan tersebut dapat dinyatakan sebagai pelopor perubahan. Salah satu perubahan paling menonjol yang dapat dikaji pada pemilu kali ini adalah cara berkampanye untuk menarik suara generasi muda melalui media sosial. 

Naiknya dominasi anak muda sebagai pemilih memengaruhi dinamika atensi masyarakat terhadap pesta rakyat pemilu tahun ini. Pemilu kali ini tidak luput dari peran media sosial dan kenaikan popularitas berbagai platform, seperti Tiktok, X, dan Instagram. Masuknya pembahasan politik ke media sosial sebagai sumber hiburan menimbulkan beberapa gimmick politik dalam berbagai bentuk, mulai dari “the k-popfication of politics” dalam berkampanye, penggunaan branding diri gemoy, hingga pengasosiasian karakter penguin dengan paslon tertentu. Tren dan pembahasan politik telah mencuat ke internet terutama pada Juni 2023 lalu. Hal ini sesuai dengan data google trends yang menunjukkan bahwa puncak trend kata politik berada pada 4 Juni 2023. 

Politik tahun ini banyak dibawa dengan berbagai cara berbeda. Uniknya, politik yang terpenetrasi dalam percakapan generasi muda meningkatkan kreativitas para pendukung paslon. Hal ini dapat dilihat dari temuan mengenai situs politik anak muda, tes, dan kuis yang dibuat untuk mengetahui visi-misi pasangan calon mana yang paling relevan dengan masing-masing individu, serta karya fiksi penggemar yang dilengkapi dengan tagar-tagar tertentu.

Pemilu yang terjadi di Indonesia tentunya tidak lepas dari peran psikologis dan kultural yang memengaruhinya. Kulachai dkk., (2023) membagi faktor yang memengaruhi keputusan pemungutan suara menjadi tiga, yaitu faktor penentu tingkat individu, sosio-kultural, dan politik. Di sisi lain, Ahmad dkk., (2020) membedakan perilaku memilih melalui beberapa landasan teoritis, yaitu sosiologis, psikologis, dan rasional. Salah satu faktor psikologis yang memengaruhi perilaku memilih yang dimiliki seseorang adalah keyakinan politik. Berdasarkan perspektif psikologis, keyakinan politik merupakan hasil dari proses psikologis yang dialami individu sepanjang rentang kehidupannya (Milburn, 1998 dalam Şener dkk., 2023). Selain itu, persepsi masyarakat, yaitu penilaian dan preferensi individu, memiliki pengaruh besar terhadap kandidat politik yang akan mereka pilih (Campbell dkk., 1954; Asher, 1980 dalam Şener dkk., 2020). 

Salah satu faktor kultural yang menarik untuk ditelaah adalah pengaruh ras dan etnis terhadap proses pemungutan suara. Penelitian menemukan bahwa individu dari kelompok ras dan etnis minoritas kerap kali mendukung kandidat yang suportif akan kekhawatiran mereka sebagai minoritas (Kulachai dkk., 2023). Selain itu, terdapat pula rasa kolektif yang dapat muncul di dalamnya. Artinya, individu dengan ras dan etnis yang sama dapat memilih secara kolektif berdasarkan pengalaman, nilai, dan tujuan politik yang sama (Barretodkk., 2009 dalam Kulachai dkk., 2023).

Partisipasi pemilih muda dan preferensi memilih mereka yang terkesan mudah untuk dipengaruhi menjadi sebuah gotcha moment bagi para paslon untuk terus menggaungkan kampanye lewat media sosial. Mereka dapat dengan mudah mengunggah beragam konten menarik dan emosional yang sengaja dibuat untuk menarik simpati dari penonton, memanfaatkan hal yang sedang trending atau viral untuk memopulerkan konten mereka, bahkan menarik tokoh publik untuk menjadi “brand ambassador”. Tentu saja, berbagai hal tersebut dapat memengaruhi orientasi dan opini politik pemilih pemula. Hal ini diperkuat oleh paparan yang terus-menerus terhadap konten politik yang tersebar luas dan algoritma media sosial yang cenderung menampilkan konten yang sesuai dengan preferensi dan kebiasaan pengguna. Hal ini dapat menimbulkan filter bubble, yaitu kondisi seseorang yang hanya terpapar pada perspektif politik yang sesuai dengan apa yang mereka senangi.

Peristiwa ini juga dapat menimbulkan halo effect. Thorndike (1920) menjelaskan halo effect sebagai bias kognitif yang terjadi ketika kesan awal yang positif atau negatif terhadap seseorang turut memengaruhi persepsi secara keseluruhan yang dalam konteks ini adalah pandangan pemilih pemula terhadap paslon tertentu. Halo effect dapat berasal dari konten-konten provokatif di media sosial yang rentan dikonsumsi oleh pemilih muda tanpa disaring terlebih dahulu. Halo effect ini dapat membuat pemilih pemula menutup mata dan memilih paslon hanya karena faktor suka dan tidak suka.

Media sosial sebagai alat untuk menyebarkan informasi dan memengaruhi pendapat masyarakat dimanfaatkan oleh para politikus sebagai media kampanye. Selain biaya operasional yang lebih rendah, kampanye melalui media sosial memudahkan politikus menjangkau lebih banyak masyarakat dengan cepat. Melihat keberhasilan kampanye dengan menggunakan media sosial pada Pemilu 2024, strategi komunikasi politik ini mungkin akan kembali digunakan di pemilu berikutnya. Meskipun begitu, gaya kampanye tradisional yang lebih nyata dan dekat dengan masyarakat juga masih terbukti efektif menggaet massa sehingga strategi ini mungkin juga akan diterapkan di pemilu berikutnya.

Meningkatnya minat berpolitik pada generasi yang mendominasi peserta pemilu tentunya memberi harapan pada cerahnya masa depan perpolitikan di Indonesia. Namun, minat tersebut harus disertai oleh kesadaran akan bias yang ada untuk menghasilkan partisipasi politik yang sehat dan tepat sasaran. Hal ini sudah sepantasnya menjadi perhatian kita selaku anak muda untuk menggunakan hak suara dengan bijak dan cerdas dalam memilih calon pemimpin negeri berdasarkan pertimbangan yang matang.

DAFTAR PUSTAKA

Ahmad, Dr. A., Bhatti, Dr. M. I., & Yousaf, Dr. F. N. (2020). Whom to vote? socio-psychological factors influencing voting behavior in rural Punjab, Pakistan. Sir Syed Journal of Education & Social Research, 3(2), 9–15. https://doi.org/10.36902/sjesr-vol3-iss2-2020(9-15) 

BBC. (n.d.). Pemilu 2024: Pemilih Muda, Politik Dinasti, dan Potensi Polarisasi – Sejumlah Hal yang Perlu Anda Ketahui – BBC News Indonesia. BBC News. https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-66531834 

Dania, R., & Nisa, P, K. (2024). Peran dan pengaruh media sosial dalam kampanye Pemilihan Presiden 2024. Virtu: Jurnal Kajian Komunikasi, Budaya dan Islam, 3(2), 103-109. https://doi.org/10.15408/virtu.v3i2.33184

Kulachai, W., Lerdtomornsakul, U., & Homyamyen, P. (2023). Factors influencing voting decision: A comprehensive literature review. Social Sciences, 12(9), 469. https://doi.org/10.3390/socsci12090469 

Muhammad Dzaki Janeiro Hidayat. (2023, June 11). Menuju Pemilu 2024: Pentingnya Representasi Generasi Muda Dalam menjawab tantangan di Tengah Arus disrupsi. Departemen Politik. https://politik.fisip.unair.ac.id/menuju-pemilu-2024-pentingnya-representasi-generasi-muda-dalam-menjawab-tantangan-di-tengah-arus-disrupsi/ 

Razaqa, M. K., Prawira, F. R., & Santoso, G. (2022). Pengaruh media sosial terhadap orientasi politik pemilih pemula siswa pada Pemilu. Jurnal Pendidikan Transformatif.

Şener, T., Balku, Y., Alkan, Y. S., Doru, S., Dernek, K. O., & Zenginoğlu, S. (2023). The socio-psychological factors affecting the voting behaviour of the postgraduate politics students: A Q-methodology study. Frontiers in Psychology, 14. https://doi.org/10.3389/fpsyg.2023.1218104 

Tren kata politik di Indonesia. (n.d.). Google trends. Retrieved April 3, 2024, from https://trends.google.com/trends/explore?q=politik&date=now%201-d&geo=ID&hl=en-GB

Verhulst, B., Lodge, M., & Lavine, H. (2010). The attractiveness halo: Why some candidates are perceived more favorably than others. Journal of Nonverbal Behavior, 34(2), 111–117. https://doi.org/10.1007/s10919-009-0084-z

Categories: Artikel

0 Comments

Leave a Reply

Avatar placeholder

Your email address will not be published.